Makalah Teori Belajar Bahasa Indonesia - Teori Mentalistik
MAKALAH
TEORI BELAJAR MENTALISTIK
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Belajar Bahasa
Dosen :
Yuyun Yuniarti, M.Pd
Oleh :
Kelompok 6
-
Anisa 172121030
-
Ersya Nurul Ihza 172121026
-
Muhamad Rifky Atorik 172121008
-
Dona Arista Hendiana 172121031
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SILIWANGI
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur atas
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Teori Belajar Mentalistik”. Dan tak lupa
pula sholawat berserta salam penyusun sanjungkan kepada pahlawan refolusi islam
yakni nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan menuju
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Pada makalah ini
menjelaskan bahwa aliran nativisme ini berpandangan bahwa perkembangan individu
ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Oleh karena itu, hasil pendidikan
ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran
ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Pendidikan anak
yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan
anak itu sendiri.
Penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat untuk para pembaca, dengan harapan para pembaca dapat
menambah wawasannya mengenai teori belajar nativisme yang dapat dipraktekan
pada anak atau peserta didik.
Tasikmalaya, Agustus 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Aliran Mentalisme
adalah aliran yang lebih menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor
lingkungan dianggap kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Aliran
Mentalisme juga sama seperti dengan aliran Nativisme. Tokoh aliran Mentalisme
adalah Schopenhaur (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa bayi lahir itu
sudah dengan bawaan baik dan buruk. Bagi mentalisme, lingkungan sekitar tidak
ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan
anak. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh
faktor bawaan sejak lahir. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh
bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini,
keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Pendidikan anak yang
tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak
itu sendiri.
Tetapi
pembawaan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan, masih
banyak faktor lain yang mampengaruhinya. Pandangan konvergensi akan memberikan
penjelasan tentang kedua faktor yaitu pambawaan (hereditas) dan dan lingkungan
dalam perkembangan anak. Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang
berpengaruh luas yakni bahwa dalam diri individu terdapat suatu “inti“ pribadi
(G.Leibnitz;Monad) yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, menentukan
pilihan kemauan sendiri, dan menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang
mempunyai kemauan bebas. Pandanga-pandangan tersebut tampak antara lain
humanistic psychologi (Carl R.Rogers) ataupun phenomenologi/ humanistik
lainnya.
1.2 Rumusan
masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut, dapat
dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apakah pengertian
Teori Mentalistik itu?
2. Bagaimana sejarah
Teori Mentalistik?
3. Apa sajakah
kelebihan dan kekurangan Teori Mentalistik?
4. Apa saja
bentuk-bentuk implementasinya dalam proses pembelajaran?
1.3 Tujuan penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka makalah ini
bertujuan untuk :
1. Mengetahui
pengertian Teori Mentalistik
2. Mengetahui sejarah
Teori Mentalistik
3. Mengetahui kelebihan
dan kekurangan Teori Mentalistik
4.Mengetahui bentuk-bentuk implementasi Teori Mentalistik dalam proses
pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori Mentalistik
Teori mentalistik
berbeda dengan kaum behavioristik, kaum mentalis berpendapat bahwa pemerolehan
bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi
pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh lingkungan sekitar. Selama
belajar bahasa pertama, sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan
lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pada hakikatnya aliran
mentalisme menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak.
Oleh karena itu, faktor
lingkungan termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan
anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari
orang tua. Istilah Nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa
pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Pendidikan anak yang tidak sesuai
dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Prinsipnya, teori mentalisme adalah pengakuan tentang adanya daya ahli yang
telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia serta kemampuan lain yang
kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang
sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada
titik tertentu. Misal, seorang anak yang berasal dari keluarga seniman musik,
akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi orang tuanya atau
mungkin juga hanya setengah dari kemampuan kedua orang tuanya.
Dalam teori ini
dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir atau
bakat. Teori ini dipelopori oleh filosiof Jerman, Arthur Schopenhauer yang
beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah
oleh alam sekitar atau pendidikan. Ada beberapa faktor yang memengaruhi
perkembangan anak dalam teori Nativisme: 1. Faktor Genetik. Faktor genetik adalah
faktor gen dari kedua orang tua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul
dari diri manusia.
2. Faktor Kemampuan
Anak. Faktor kemampuan anak adalah faktor yang menjadikan seorang anak
mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena
anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
3. Faktor pertumbuhan
anak adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap
pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu
normal maka dia akan bersikap enerjik, aktif, dan responsif terhadap kemampuan
yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal, maka anak
tersebut tidak bisa mengenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Teori ini dimotori oleh
Noam Chomsky (1959) dengan membahas dan menyerang pendapat skinner. Berikut ini
beberapa catatan mengenai teori pembelajaran dan pemerolehan bahasa menurut
teori mentalis :
1. Bahasa hanya dapat
dikuasai oleh manusia.
2. Perilaku bahasa
adalah sesuatu yang diturunkan.
3. Pemerolehan bahasa
berlangsung secara alami.
4.
Pola perkembangan bahasa sama pada berbagai macam bahasa dan budaya.
Lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam
pemerolehan bahasa.
5.Anak
(setiap orang) sudah dibekali apa yang disebut piranti penguasaan bahasa
‘Language Acquisition Device (LAD)’ sebagai bawaan dari lahir yang antara lain
meliputi: - Kemampuan membedakan bunyi bahasa dengan bahasa-bahasa lain; -
Kemampuan menyusun bahasa menjadi sistem struktur; - Pengetahuan yang mungkin
dan tidak mungkin diterima dalam sistem linguistik.
6.
Aliran mentalis tidak setuju menyamakan proses belajar pada manusia dengan yang
terjadi pada binatang. Manusia memiliki akal dan pikiran yang kompleks.
Binatang mempuyai naluri.
7.
Belajar bahasa tidak hanya sekedar latihan-latihan mekanis seperti yang
ditonjolkan teori behavioris, melainkan lebih kompleks dari itu.
8.
Ada beberapa teori yang tergolong aliran mentalis ini, misalnya: - Teori
Tatabahasa Universal - Teori Monitor - Teori Kognitif. Seperti sudah dikemukakan
bahwa teori behavioris dan teori mentalis merupakan dua teori belajar bahasa
yang dalam banyak han bertentangan sehingga membentuk dua kubu tempat berhimpun
masing-masing pengikutnya. Dalam situasi seperti ini biasanya selalu muncul
teori-teori lain yang mencoba menjembatani teori-teori lain yang mencoba
menjembatani atau mencari jalan tengah.
Pada subpokok bahasan ini, kita telah membahas
sejumlah konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang
memahami dan merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita
telah berbicara mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum bahavioris,
terutama dalam kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan pikiran.
Menurut kaum mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind)
yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal
dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah sati di
antaranya mungkin menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan,
pandangan ini berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka
lakukan itu bisa merupakan hasil perilaku badan secara tersendiri, seperti
bernapas atau bisa pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran.
Mentalisme dapat dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme.
Kedua pendapat ini pun memiliki
pandangan-pandangan yang berbeda dalam memahami persoalan gagasan-gagasan batin
atau pengetahuan. Semua kaum mentalis bersepakat mengenai adanya akal dan bahwa
manusia memiliki pengetahuan dan gagasan di dalam akalnya. Meskipun demikian,
mereka tidak bersepakat dalam hal bagaimana gagasan-gagasan tersebut bisa ada
di dalam akal. Apakah gagasan-gagasan tersebut seluruhnya diperoleh dari
pengalaman (pendapat kaum empiris) atau gagasan-gagasan tersebut sudah ada di
dalam akal sejak lahir (gagasan kaum rasional). Bahkan di dalam kedua aliran
ini pun, terdapat perbedaan pendapat yang rinciannya akan kita bahas nanti.
Kemudian, diketengahkan pembahasan
mengenai empirisme. Dalam kaitan ini telah dibahas kenyataan bahwa kata empiris
dan empirisme telah berkembang menjadi dua istilah yang memiliki dua makna yang
berbeda. Setelah itu, dibahas pula isu lain yang mengelompokkan kaum empiris,
yakni isu yang berkenaan dengan pertanyaan apakah gagasan-gagasan di dalam akal
manusia yang membentuk pengetahuan bersifat universal atau umum di samping juga
bersifat fisik.
Menurut pandangan kaum mentalis atau rasionalis atau
nativis, proses akuisisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi
karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa
yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Chomsky (1959) bahwa anak yang lahir ke dunia ini telah
membawa kapasitas atau potensi. Potensi bahasa ini akan turut menentukan
struktur bahasa yang akan digunakan. Pandangan ini yang akan kelask disebut
hipotesis rasionalis atau hipotesis ide-ide bawaan yang akan dipertentangkan
dengan hipotesis empiris yang berpendapat bahwa bahasa diperoleh melalui proses
belajar atau pengalaman.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa anak memiliki
kapasitas atau potensi bahasa maka potensi bahasa ini akan berkembang apabila
saatnya tiba. Pandangan ini biasanya disebut pandangan nativis (Brown,
1980:20). Kaum mentalis beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki
apa yang disebut LAD (Language Acquisition Device). Kelengkapan bahas ini
berisi sejumlah hipotesis bawaan. Hipotesis bawaan menurut para ahli
berpendapat bahasa adalah satu pola tingkah laku spesifik dan bentuk tertentu
dari persepsi kecakapan mengategorikan dan mekanisme hubungan bahasa, secara
biologis telah ditemukan (Comsky, 1959).
Mc Neill (Brown, 1980:22) menyatakan bahwa LAD itu
terdiri atas:
a) kecakapan
untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
b) kecakapan
mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang
kemudian;
c)
pengetahuan tenteng sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan
kecapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan
sistem linguistik, Dengan demikian, dapat melahirkan sistem yang dirasakan
mungkin diluar data linguistik yang ditemukan.
Pandangan kaum mentalis yang perlu diperhatikan adalah
penemuan mereka tentang sistem bekerjanya bahasa anak. Chomsky dan kawan-kawan
berpendapat bahwa perkembangan bahasa anak bukanlah perubahan rangkaian proses
yang berlangsung sedikit semi sedikit pada struktur bahasa yang tidak benar,
dan juga standia lanjut. Akan tetapi standia yang bersistem yang berbentuk
kelengkapan-kelengkapan bawaan ditambah dengan pengalaman anak ketika ia
melaksanakan sosialisasi diri. Kelengkapan bawaan ini kemudian diperluas,
dikembangkan, dan bahkan diubah.
Dalam hubungan anak membawa sejumlah kapasitas dan
potensi, kaum mentalis memberikan alasan-alasan sebagai berikut:. Semua manusia
belajar bahasa tertentu; semua bahasa manusia sama-sama dapat dipelajari oleh
manusia; semua bahasa manusia bebeda dalam aspek lahirnya, tetapi semua bahasa
mempunyai ciri pembeda yang umum, ciri-ciri pembeda ini yang terdapat pada
semua bahasa merupakan kunci terhadap pengertian potensi bawaan bahasa
tersebut. Argumen ini mengarahkan kita kepada pengambilan kesimpulan bahwa potensi
bawaan bukan saja potensi untuk dapat mempelajari bahasa, tetapi hal itu
merupakan potensi genetik yang akan menentukan struktur bahasa yang akan
dipelajarinya.
2.2. Sejarah Teori Mentalistik
Teori mentalistik di pelopori oleh
Noam Chomsky yang mengatakan bahwa teori ini sebagai
wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang
merupakan seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa
pemerolehan bahasa itu bersifat nurture atau dipengaruhi oleh lingkungan.
Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena
menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat
tertentu yang membuatnya mampu memelajari suatu bahasa. Alat tersebut disebut
dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (language acquisition device/LAD) yang
bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam
proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236).
Skinner dipandang terlalu menyederhanakan masalah ketika ia menyama-ratakan
proses pemerolehan pengetahuan manusia dengan proses pemerolehan pengetahuan
binatang, yaitu tikus dan burung dara yang digunakan sebagai subyek dalam
eksperimennya, karena menurut pendekatan nativis, bahasa bagi manusia merupakan
fenomena sosial dan bukti keberadaan manusia (Pateda, 1991:102). Selain itu ada
pula alasan lain mengapa pendekatan nativis merasa tidak setuju terhadap teori
Skinner. Alasan tersebut berhubungan dengan bahasa itu sendiri, yaitu menurut
para nativis bahasa merupakan sesuatu yang hanya dimiliki manusia sebab bahasa
merupakan sistem yang memiliki peraturan tertentu, kreatif dan tergantung pada
struktur (Dardjowidjojo, 2003:236).
Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas mental dan sebaiknya tidak dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101).
Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas mental dan sebaiknya tidak dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101).
Noam Chomsky
berpendapat bahwa seorang anak telah dilahirkan dengan kecakapan semula untuk
menguasai bahasa apabila sampai peringkat kematangannya yang tertentu. Pada
tiap-tiap peringkat kematangan anak tersebut akan membentuk hipotesis-hipotesis
terhadap peraturan-peraturan ahli masyarakatnya. Segala pembetulan kesalahan
yang dibuat oleh ahli masyarakatnya akan memperkukuhkan lagi rumus-rumus bahasa
yang tersimpan di dalam otaknya.
Menurut Chomsky, anak lahir dengan
kemampuan mental untuk bekerja di luar sistem yang mendasari ke campur aduk suara
yang didengarnya. Ia membangun tata bahasa sendiri dan menerapkan pada semua
suara mencapai otaknya. Tata bahasa mental ini merupakan bagian dari kerangka
kognitif, dan apa pun yang didengar disimpan di otaknya sampai dia cocok
terhadap apa yang dia sudah tahu dan menemukan sebuah 'benar' tempat untuk itu
dalam kerangka ini. Chomsky berpendapat bahasa yang kompleks sehingga hampir
luar biasa yang dapat diperoleh oleh seorang anak dalam waktu sesingkat itu.
Dia mengatakan bahwa seorang anak akan lahir dengan beberapa kapasitas mental
bawaan yang membantu anak untuk memproses semua bahasa yang didengarnya. Hal
ini disebut Bahasa Device Akuisisi, dan dia gergaji sebagai daerah khusus yang
terdiri dari otak yang hanya berfungsi adalah pengolahan bahasa. Fungsi ini, ia berpendapat, cukup terpisah dari
kapasitas mental anak lain yang memiliki. Ketika Chomsky berbicara tentang
'aturan, ia berarti aturan dalam pikiran bawah sadar anak aturan ini
memungkinkan untuk membuat kalimat gramatikal dalam bahasa mereka sendiri. Chomsky
tidak berarti bahwa seorang anak dapat menjelaskan aturan ini secara eksplisit.
Sebagai contoh, seorang anak berusia empat atau
lima tahun dapat menghasilkan kalimat seperti saya telah melakukan pekerjaan
saya, dia bisa melakukan itu karena ia memiliki sebuah 'tata bahasa mental'
yang memungkinkan dia untuk membentuk struktur yang benar sempurna saat ini dan
juga untuk menggunakan struktur tersebut dalam benar dan tepat situasi.
Tapi dia tidak mampu untuk menentukan pembentukan tegang sempurna sekarang.
2.3 Kelebihan dan
Kekurangan Teori Mentalistik
a. Kelebihan
1. Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
Dengan teori ini
diharapkan manusia bisa mengoptimalkann bakat yang dimiliki dikarenakan telah
mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Dengan adanya hal ini, memudahkan
manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar terhadap kemajuan
dirinya.
2. Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
Jadi dengan teori ini
diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya
pengembangan bakat dan minat agar menjadi manusia yang berkompeten sehingga
bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman sekarang yang
semakin lama semakin dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul
daripada yang lain.
3.Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
Adanya teori ini
manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya, dan
apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan
berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang
dipilihnya adalh yang terbaik untuk dirinya.
4. Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang.
Teori ini dikemukakan
untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang
dimilii agar manusia itu memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jati diri
manusia.
5. Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Dengan adanya teori ini,
maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, dengan artian semakin
dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat
lebih memaksimalkan bakatnya sehingga bisa lebih optimal.
b. Kekurangan
Teori ini memiliki
pandangan seolah-olah sifat-sifat manusia tidak bisa diubah karena telah
ditentukan oleh sifat-sifat turunannya. Bila dari keturunan baik maka akan baik
dan bila dari keturunan jahat maka akan menjadi jahat. Jadi sifat manusia
bersifat permanen tidak bisa diubah. Teori ini memandang pendidikan sebagai
suatu yang pesimistis serta mendeskreditkan golongan manusia yang “kebetulan”
memiliki keturunan yang tidak baik.
2.4 Bentuk-bentuk
Implementasi dalam Pembelajaran
Implikasi teori
Mentalisme terhadap pendidikan/pembelajaran yaitu kurang memberikan kemungkinan
bagi pendidik dalam upaya mengubah kepribadian peserta didik. Berdasarkan hal
itu peranan pendidikan atau sekolah sedikit sekali dapat dipertimbangkan untuk
dapat mengubah perkembangan peserta didik. Akan tetapi hal yang demikian justru
bertentangan dengan kenyataan yang kita hadapi, karena sudah ternyata sejak
zaman dahulu hingga sekarang orang berusaha mendidik generasi muda, karena
pendidikan itu hal yang dapat, perlu, bahkan harus dilakukan. Jadi konsepsi
Mentalisme ini tidak dapat dipertahankan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Para penganut aliran Mentalisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
Para penganut aliran Mentalisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
Bagi mentalisme,
lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam
mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika
anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila
mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan
pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.
2.5 Pengaruh dan Konsep Teori Mentalisme dalam Praktek Pendidikan
Telah cukup banyak
dibicarakan hal-ikhwal tentang pendidikan, baik kaitannya dengan hakikat
kehidupan manusia, maupun kaitannya dengan kebudayaan sebagai produk dari
proses pendidikan. Pada saat manusia mengalami tahap perkembangan, baik secara
fisik maupun rohaninya dalam proses pendidikan, muncullah pertanyaan mendasar
tentang faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan itu. Apakah faktor
bakat dan kemampuan diri manusia itu sendiri, atau faktor dari luar diri
manusia, ataukah kedua-dunya itu secara bersama-sama. Dari faktor pertamalah
timbul teori yang disebut sebagai teori mentalisme. Teori mentalisme dikenal
juga dengan teori naturalisme atau teori pesimisme. Teori ini berpendapat bahwa
manusia itu mengalami pertumbuhkembangan bukan karena faktor pendidikan dan
intervensi lain diluar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan
pembawaannya. Teori ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada
gunanya dan tidak ada hasilnya. Bahkan menurut teori ini pendidikan itu justru
akan merusak perkembangan anak. Pertumbuhkembangan anak tidak perlu
diintervensi dengan upaya pendidikan, agar pertumbuhkembangan anak terjadi
secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Telah dibahas pada
sebelumnya bahwa teori mentalisme berpendapat tentang perkembangan individu
ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir, serta faktor lingkungan kurang
berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Menganalisis dari
pendapat tersebut, anak yang dilahirkan dengan bawaan yang baik akan mempunyai
bakat yang baik juga begitu juga sebaliknya. Faktor bawaan sangat dominan dalam
menentukan keberhasilan belajar atau pendidikan. Faktor-faktor yang lainnya
seperti lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan hal itu juga tidak bisa
diubah oleh kekuatan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan merupakan
suatu usaha yang tidak berdaya menurut teori tersebut, karena anak akan
menetukan keberhasilan dengan sendirinya bukan melalui sebuah usaha pendidikan.
Walaupun dalam pendidikan tersebut diterapkan dengan keras maupun secara
lembut, anak akan tetap kembali kesifat atau bakat dari bawaannya. Begitu juga
dengan faktor lingkungan, sebab lingkungan itu tidak akan berdaya mempengaruhi
perkembangan anak.
Dalam teori mentalisme
telah ditegaskan bahwa sifat-sifat yang dibawa dari lahir akan menentukan
keadaannya. Hal ini dapat diklaim bahwa unsur yang paling mempengaruhi
perkembangan anak adalah unsure genetic individu yang diturunkan dari orang
tuanya. Dalam perkembangannya tersebut anak akan berkembang dalam cara yang
terpola sebagai contoh anak akan tumbuh cepat pada masa bayi, berkurang pada
masa anak, kemudian berkembang fisiknya dengan maksimum pada masa remaja dan
seterusnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut pandangan kaum mentalis atau rasionalis atau
nativis, proses akuisisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi
karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa
yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Chomsky (1959) bahwa anak yang lahir ke dunia ini telah
membawa kapasitas atau potensi. Potensi bahasa ini akan turut menentukan
struktur bahasa yang akan digunakan. Pandangan ini yang akan kelask disebut
hipotesis rasionalis atau hipotesis ide-ide bawaan yang akan dipertentangkan
dengan hipotesis empiris yang berpendapat bahwa bahasa diperoleh melalui proses
belajar atau pengalaman.
3.2 Saran
Apa yang dijelaskan penulis dalam
makalah hanya sedikit tentang penjelasan Teori Belajar Bahasa. Oleh karena itu,
bagi para pembaca yang sudah membaca makalah ini diharapkan membaca sumber lain
yang berhubungan dengan materi Teori Belajar Bahasa. Khususnya mahasiswa
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, abdul. Psikolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta,
2009
robert-rober.blogspot.com/2012/01/konsep-dasar-teori-teori-belajar.html
jopans.blogspot.com/2010/04/teori-mentalism-noam-chomsky-ada-dua.html
0 Response to "Makalah Teori Belajar Bahasa Indonesia - Teori Mentalistik"
Post a Comment