Fonologi - Perubahan Bunyi Bahasa dan Silabel
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual
condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut
bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai
membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih
merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain,
perubahan itu masih dalam lingkup perubahan
fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada
pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut
merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu
disebut sebagai perubahan fonemis.
B.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi
rumusan masalahnya, yaitu:
1.
Apa saja perubahan bunyi dalam bahasa
Indonesia?
2.
Apa
yang dimaksud dengan Silabel?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun beberapa tujuan
dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui perubahan bunyi
dalam bahasa indonesia
2. Untuk mengetahui silabel
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perubahan Bunyi
dalam Bahasa Indonesia
Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual
condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut
bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan
makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan
alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu
masih dalam lingkup perubahan fonetis.
Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna
atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari
fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.
Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi,
disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi,
monoftongisasi, dan anaptiksis, sebagaimana uraian berikut.
1. Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua hal bunyi yang
tidak sama menjadi bunyi yang sama atau hampir sama. Hal ini terjadi karena
bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk
saling mempengaruhi atau dipengaruhi.
Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi
nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentangdiucapkan apiko-dental karena
bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-alveolar karena
bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal
tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang sama.
2. Disimilasi
Disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama
atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.
Contoh
:
Kata
bahasa Indonesia belajar [bǝlajar]
berasal dari penggabungan prefix ber [bǝr]
dan bentuk dasar ajar [ajar].
Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar
[bǝrajar]. Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan
atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bǝlajar]. Karena perubahan
tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/
dan [l] merupakan alofon dari fonem
/l/, maka disebut disimilasi fonemis.
3. Modifikasi vokal
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat
dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa
dimasukkan kedalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas,
maka perlu disendirikan.
4. Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat
pengaruh lingkungan. Untk mejelaskann kasus ini bisa dicermati ilustrasi
berikut. Dengan cara pasangan minimal [baraƞ] ‘barang’−[parang] ‘paraƞ’ bisa
disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/.Tetapi dalam
kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal setidak-tidaknya
bermasalah karena dijumpai yang sama. Minsalnya, fonem /b/ pada silaba akhir
pada kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan
[sǝbab’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Mengapa terjadi demikian? Karena
konsonan hambatan letup bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda.
Ketika dinetralisasikan menjadi hambatan tidak bersuara, yaitu [p’], sama
dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.
5. Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat
upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada
penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak
menggangu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus dikembangkan karena
secara diam-diam telah didukung dan disepakti oleh komunitas penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi.
Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tata bahasa
baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu
terus berlangsung.
Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila
diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu : aferesis, apokop, dan sinkop.
6. Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu
kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia,
kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak.
7. Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal
(monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara
berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan
dalam satu puncak kenyaringan sehingga
tetap dalam satu silaba.
8. Monoftongisasi
Monoftongisasi yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal
rangkap (diftong) menjadi vokal (monoftong) . (Muslich 2012 : 126). Peristiwa
penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap
pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
Monoftongisasi adalah proses perubahan dua buah vokal atau
gugus vokal menjadi sebuah vokal. Poses ini banyak terjadi dalam bahasa
Indonesia akibat dari ingin memudahkan ucapan. (Chaer 2009 : 104).
Monoftongisasi
adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud sebuah diftong berubah menjadi
sebuah monoftong.
Jadi,
monoftongisasi adalah proses perubahan dua bunyi vokal menjadi sebuah vokal.
Contoh:
Ramai menjadi
(rame)
Kalao menjadi
(kalo)
Danau menjadi
(danau)
Satai menjadi (sate)
Damai menjadi
(dame)
Sungai menjadi (sunge)
9. Anaptiksis
Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan
jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk
memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah.
Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam
kluster. (Muslich 2012 : 126).
Anaptiksis adalah proses penambahan bunyi vokal di antara
dua konsoan dalam sebuah kata; atau penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata
tertentu. (Chaer 2009 : 105).
Anaptiksis (suara
bakti) adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud penambahan satu
bunyi antara dua fonem dalam sebuah kata guna melancarkan ucapan.
Jadi,
anaptikis adalah perubahan bentuk kata
dengan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan.
Contoh:
Putra menjadi
putera
Putri menjadi
puteri
Bahtra menjadi
bahtera
Srigala menjadi serigala
Sloka menjadi
seloka
Anaptikis
ada tiga yaitu:
Protesis
adalah proses penambhan bunyi ada awal
kata. Misalnya:
Mas menjadi emas
Mpu menjadi empu
Tik menjadi
ketik
Lang menjadi elang
Epentesis
adalah proses penambahan bunyi pada tengah kata. Misalnya:
Kapak menjadi kampak
Sajak menjadi sanjak
Upama menjadi umpama
Beteng menjadi benteng
Paragog
adalah proses penambahan bunyi pada posisi akhir kata. Misalnya:
Huubala menjadi hulubalang
B.
Silabel atau suku kata
Silabel atau suku
kata adalah satuan ritmis terkecil dalam
suatu arus ujaran. Satu silabel biasanya melibatkan satu bunyi vokal ,atau satu
konsonan atau lebih. Silabel sebagai satuan ritmis terkecil mempunyai puncak
kenyaringan (sonoritas) yang bisanya jatuh pada sebuah bunyi vokal.kenyaringan
dan sonoritas, yang menjadi puncak silabel terjadi karena adanya ruang
(resonansi) berupa rongga mulut, rongga hidung, atau rongga rongga lain di
dalam kepala atau dada.
Bunyi
yang paling banyak menggunakan ruang resonansi itu adalah bunyi vokal, dan
bukan bunyi konsonan kerena itu yang dapat disebut bunyi silabis atau puncak
silabis adalah bunyi vokal. Umpamanya kata Indonesia [dan].kata itu terjadi
dari bunyi [d], bunyi [a],dan bunyi [n].bunyi [d] dan bunyi [n] adalah bunyi
konsonan, sedangkan bunyi [a] adalah bunyi vocal. Bunyi [a] pada kata [dan] itu
menjadi puncak silabis dan puncak kenyaringan sebab bunyi vocal ketika di
produksi mempunyai ruang resonansi yang lebih besar. Secara relatif ketiga
bunyi yang membentuk kata [dan].
Kemungkinan
urutan bunyi konsonan-vokal dalam silabel disebut fonotaktik. Bunyi konsonan
yang berada sebelum vocal (yang menjadi puncak kenyaringan disebut onset (O) dan konsonan yang hadir
sesudah vocal disebut koda, sedangkan
vokalnya sendiri disebut nuklus.sejauh
ini urutan vocal (v) dan konsonan (K) yang ada dalam bahasa indonesia adalah :
1. V, seperti
[i] pada kata [i+ni]
2. KV, seperti
[la] pada kata [la+ut]
3. VK, seperti
[am] pada kata [am+bil]
4. KVK seperti [but] pada kata [se+but]
5. KKV seperti
[kla] pada kata [kla+sik]
6. KKVK seperti
[trak] pada kata [trak+tor]
7. KVKK seperti [teks] pada kata [kon+teks]
8. KKKV seperti
[stra] pada kata
[stra+te+gi]
9. KKVKK seperti
[pleks] pada kata [kom+pleks]
10. KKKVK seperti
[struk] pada kata [struk+tur]
11. VKK seperti
[eks] pada kata [eks+por]
Banyak kata yang
berasal dari bahasa asing , dan memiliki pola silabel yaitu dua buah konsonan
beruntun, maka di antara kedua konsonan itu diselipkan bunyi [ә]. Misalnya,
kata [klas] menjadi [kәlas], kata [praktek] menjadi [pe + rak tek], dan kata
[administrasi] menjadi [ad + mi + nis + te + ra + si]. Dengan penyisipan bunyi
[ә] itu, maka polanya menjadi pola silabel asli bahasa Indonesia.
Banyak kata-kata
bahasa Indonesia yang memiliki pola silabel KV dimana V diisi oleh bunyi [ә],
seringkali bunyi [ә] itu ditanggalkan. Kata [kәlapa] yang silabelnya [kә],
[la], dan [pa] sering dilafalkan menjadi [klapa].
Menentukan batas
silabel sebuah kata kadang-kadang agak sukar, misalnya kata [makan]. Silabelnya
ialah [ma], [kan], kata [makanan] silabelnya adalah [ma], [ka], dan [nan].
Bunyi [n] yang menjadi koda pada silabel [kan] pada kata [makanan]. Secara
ortografi, menurut ketentuan ejaan bahasa Indonesia silabelnya adalah [ma + kan
+ an]. Contoh lain kata [bundar] dan [k prok] secara fonetis bersilabel [bu +
ndar] dan [kә + prok], tetapi secara ortografis bersilabel < bun + dar >
dan < kep + rok>. Bunyi yang sekaligus dapat menjadi onset dan koda pada
dua buah silabel yang beruntunan disebut interlude.
Bunyi diftong sudah
diperhitungkan sebagai sebuah bunyi, karena cirinya lebih dekat kepada vokal,
maka harus dianggap sebagai sebuah vokal (V).
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari penulisan
makalah ini dapat diambil kesimpulan jenis perubahan bunyi yaitu, meluah, meneympit, perubahan
total, penghalusan, dan pengasaran. Perubahan dalam bunyi bahasa Indonesia berupa asimilasi, disimilasi,
modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi,
monoftongisasi, dan anaptiksis.
0 Response to "Fonologi - Perubahan Bunyi Bahasa dan Silabel"
Post a Comment