Cerpen | Gumam Batin Pengelana - Syahrul Bachtiar


Gumam Batin Pengelana

Syahrul Bachtiar

 

Matahari bersenandung lirih diujung petang, seirama dengan kicau burung yang mengantarkannya pulang. Dari balik jendela sepasang mata coklat memandang khidmat kearah sawah dibelakang rumahnya, nampak dari kejauhan sepasang petani berangkat pulang penuh riang menapaki pematang, membawa cangkul dipundak dan sang istri menenteng rantang. Tiba-tiba air matanya jatuh mengenai jari tengahnya lalu gadis itu memandang sebuah cincin rotan yang mengitari ruasnya, dalam hati ia bertanya “Air mata apa ini, penyesalan kah atau justru kebahagiaan?”. Perasaan dalam batinnya berperang.

**********

            Dua puluh tahun kemudian seorang anak ditemukan tergeletak di emper gubuk tua milik seorang janda yang sudah renta, semua orang biasa memanggilnya Emak Ambar, saat itu kira-kira usianya 50 tahunan. Tahun-tahun selanjutnya Emak Ambar harus mengurus dan membesarkan anak malang itu tanpa tahu siapa orang tua aslinya. Maka dinamainya anak itu “Candra Kumara” yang berarti putra rembulan.

            Tahun-tahun berlalu kini usianya sekitar 6 tahunan, sudah selayaknya Kumara mengenyam bangku sekolah dasar seperti anak-anak pada umumnya, namun karena tidak ada satu sekolah pun di desa itu, sekalipun ada jaraknya cukup jauh yaitu di desa sebrang, terpaksalah Kumara tidak disekolahkan, dan juga karena memang sang nenek harus mengurusi ternak-ternaknya yang merupakan satu-satunya pondasi financial yang dimiliki.

            Kendati tak mengenyam bangku sekolah, wanita penuh uban itu tak mau membiarkan anaknya tertinggal. Maka ia membelikan buku anak-anak dipasar, walaupun buku yang dibelinya tak sama dengan standar sekolah, nyatanya Kumara berhasil menguasai baca, tulis dan hitung kurang dari satu tahun, entah karena Kumara yang cerdas atau Emak Ambar yang mengajar dengan hebat. Waktu mereka belajar adalah pagi setelah mengurus ternak dan sore sebelum ke kandang, namun kadang saat ketika Emak Ambar mengurus ternak pun ia akan mendogeng tentang segala hal yang ia ingat dari buku yang pernah dibacanya.

            Anak itu tumbuh gagah dengan badan kekar, berhidung mancung dan berkulit langsat mungkin ia mewarisi orang tua yang tidak diketahuinya. Namun anak-anak disekitarnya enggan menemaninya bermain, dan sekalipun ia memaksakan diri untuk bergaul tetap saja anak-anak yang lain akan mengejeknya dengan serpaan “Anak Buangan” mungkin para orang tua sudah menanamkan konotasi buruk tentang Emak Ambar dan Kumara kepada anaknya.

Kendati tak punya teman sebaya nyatanya neneklah yang selalu menjadi teman setia bermain, kandang ternak selalu menjadi tempat istimewa untuk belajar dan bermain. Kumara memiliki minat baca yang tinggi, terhitung sejak ia lancar membaca, sudah sangat banyak buku yang ia tamatkan, di usianya yang kini menginjak 15 tahun, buku logika dan filsafat menjadi bacaan favoritnya, mulai dari Heraklitos, Plato, Engels, Marx, Hume, Hegel, Smith, Rousseau, Kant, Russel dan masih banyak pemikir lainnya ia kenali. Ya, rumah ini memiliki perpustakaan yang cukup baik berisi buku-buku yang berkualitas dan tergolong buku langka. Seperti das capital, wealth of nation, anti duhring dan lain-lain, semuanya tersimpan rapih.

Suatu pagi Kumara memberanikan diri untuk mengungkapkan pikiran yang mengganjal di batinnya, kala itu Emak Ambar sedang mengurusi ternaknya, dengan raut yang ragu Kumara membulatkan tekad yang dikumpulkannya sejak ia melihat foto laki-laki  berewok dengan rambut panjang di laci meja perpusakaan sebulan yang lalu.

“Mak, siapakah foto lelaki di laci perpustakaan itu?.” Dengan raut yang ragu.

Emak Ambar yang sedang memberi pakan ayam sontak berbalik badan karena pertanyaan itu membuat hatinya tergugah. Pertanyaan itu membuat ia terdiam cukup lama.

“Hari ini harus berani ku ceritakan,” Air mata mengalir membasahi kulit keriputnya, “Dia adalah seorang pengembara sejati lelaki penuh misteri yang sudah merubah hidup emak.” Lanjutnya.

**********

Semua itu bermula ketika hujan deras mengguyur sepanjang hari, nampak seorang lelaki berprawakan tinggi dengan rambut gondrong menggendong tas gunung sedang berteduh di emper rumah. Tatapan matanya yang tajam dan mempesona membuat aku terkagum padanya.

“Mari masuk, diluar dingin.” Ajak ku

“Dingin hanya mampu menerobos kulit, tapi tidak dengan keyakinanku.” Jawabnya

Aku kesal dengan jawaban semacam itu, lagi pula semua lelaki dikota ini tergila-gila padaku, karena aku sering dipanggil untuk melayani mereka di ranjang empuknya, tapi lelaki ini malah menolakku.

“Tapi niatmu baik, saya hargai niatmu.” Jawab lelaki berewok itu

Akhirnya obrolan panjang pun terjadi dan kami bertukar identitas. Namanya adalah Rangin Pancagara, seorang sarjana hukum yang sedang berkelana mengelilingi Nusantara untuk suatu tujuan mulia yaitu memberikan jasanya secara cuma-cuma pada daerah yang tidak mendapatkan hak yang sama dibidang pembangunan SDM. Lalu ia banyak bercerita tentang pengalaman-pengalamannya dalam menghadapi semua rintangan, akupun terkagum-kagum mendengarnya sekaligus aku berani menaruh hati lebih dalam pada lelaki yang baru ku kenali ini. Apalagi setelah aku bercerita tentang masalalu yang memaksa aku untuk hidup sebagai Pelacur seperti saat ini.

“Kesalahan itu fana kecuali kita terus mempertahankannya, jangan tutupi keberanianmu untuk berubah, manusia dan tindakannya adalah dua hal yang berbeda.” Kata itu menggugah hati, bagaikan hasihat orang suci.

“Aku berani jika ada yang menuntunku kearah itu.”

“Penuntunmu adalah kebenaran, kebenaran adalah nuranimu yang suci.”

“Tapi nurani suci ku mati, aku hanyalah manusia tak beradab.”

“Justru yang memakaimulah yang tak beradab, sebab orang yang beradab tidak dapat sepenuhnya memuaskan naluri seksual mereka tanpa cinta.”

“Lalu apa yang kau cari dari pengelanaanmu ini?

“Sama seperti hidupmu, yaitu mencari jati diri, tapi cara setiap orang berbeda.”

Hatiku terus bergejolak ingin memilikinya tapi tak seperti lelaki yang pernah aku setubuhi, ini lebih kepada hati suci yang penuh dengan rasa cinta kasih.

“Apakah kau tak ingin hidup normal, mungkin seperti orang lain?” tanyaku lagi.

“Orang normal itu munafik, mereka lebih gemar sembunyi dibalik wajahnya.”

Hujan sudah berhenti segelas teh dan 3 batang rokok menemani obrolan kami, namun kini dia harus berlari lagi mengejar angin, di gendongnya tas yang sebagian besar berisi buku dan sedikit makanan serta baju ganti itu, kubukakan pintu tanpa kerelaan. Setelah ia berjalan sekitar 10 langkah dengan berat hati kukatakan perasaan cintaku yang mendadak ini.

            “Sudikah kau membantuku menjadi manusia seutuhnya.” Teriakku

Lalu langkah itu berhenti dan berbalik kearahku, detak jantungku bagai seorang yang usai lari sprint. Jaraknya bertambah dekat lalu ia sibak rambut lusuhku.

“Kau adalah satu-satunya wanita yang tak ingin hidup normal, akupun sama. Hidup harus penuh dengan konsekuensi, maka aku juga membutuhkanmu secara jujur.”

Ia buatkan cincin dari rotan lalu memasangkannya pada jariku, selepas itu ia berkata ingin pulang kerumahnya di pulau besar dan meninggalkan janji padaku bahwa sebulan lagi ia akan datang untuk meresmikan pernikahan yang sah di mahkama agama. Lalu aku pun berjanji untuk meninggalkan semua yang mengotori nurani sendiri.

Akhirnya saat itu tiba, kami menikah dengan sah maskipun tak ada satu orangpun tetangga yang menghadirinya, terpaksalah hanya 3 temanku saja yang menjadi saksi, Mas kawinku buku-buku yang sekarang menjadi perpustakkan dirumah ini, akupun belajar berternak ini dari buku itu. Kami hidup bahagia namun kami tak dikaruniai satu orangpun anak, mungkin ini karena salahku dimasa yang lalu. Namun Rangin tak pernah marah soal itu karena ia telah mencintaiku berikut konsekuensinya.

**********

“Namun sampai sekarang tidak ada satu orang pun yang mengetahui keadaannya, tepatnya sejak Reformasi 1998.”

“Dia hilang bersama kebebasaannya, merdekalah mereka yang mati atau hilang dalam kebenaran.”

“Dia pernah berpesan. Buku adalah peluru, pikiran adalah senjata, dan hati adalah penggeraknya, kemana senjata itu akan ditembakan itu adalah urusan nurani mereka. Dan justru kaum berilmulah yang akan merusak tatanan kehidupan maka dari itu kita harus lawan dengan berilmu juga. Itulah pentingnya berjuang.”

Sejak saat itu Kumara baru tahu tentang kenyataan yang menyangkut dirinya dan seribu pertanyaan di dalam batinnya.

Pagi berikutnya langit sangat gelisah awan hitam memadati angkasa, ada yang ganjil, suara binatang dari kandang ramai bersahutan, ditengoklah kandang belakang rumahnya itu, Emak Ambar yang saban hari rutin mengurus ternak, ternyata tak ada disitu. lantas ia mencarinya kesana-kemari dengan berteriak-triak, namun tak ada satupun jawaban yang menandakan keberadaaan nenek tua itu. Lalu Kumara tengok kamar ibunya ternyata sebatang tubuh terlentang tergeletak tak bernyawa tak berpakaian, disamping mayat itu terdapat selembar tulisan singkat, lalu kumara membaca dengan air mata megalir sampai dagunya.

“Sinarilah orang-orang yang membencimu, sebab matahari takan pernah murka pada manusia yang telah merusaknya, dan pada akhirnya manusia akan menyesal atas perbuatannya itu.”

Sejak kematiaan ibunya, kumara hidup seorang diri, kini ia harus mulai mengurusi dan mempelajari teori berternak, berkebun dan berwirausaha. Hidupnya yang seorang diri ini tak membuat ia merasa putus asa, tapi malah membuatnya bersemangat untuk terus belajar. Lamat laun usaha ternaknya semakin melesat, dia gunakan hasil labanya untuk membeli tanah yang rencananya akan digunakannya untuk berkebun secara hidroponik.

Tiga tahun berlalu di usianya yang sekitar 18 tahun ini, ia sudah mempekerjakaan lebih dari 15 orang untuk mengurusi kebun hidroponik dan peternakan model barunya, sekaligus merubah setigma buruk pada keluarganya, para tetangga kini tidak lagi mencemohnya tapi lebih pada menyanjungnya.

Kumara kumpulkan setengah dari penghasilannya untuk mendirikan sekolah di desa itu, dan impian Kumara baru bisa terlaksana saat usianya menginjak 21 tahun, kini usahanya bertambah lapang dan dia menjadi pemuda yang disayangi masyarakat sekaligus menjadi sandaran perekonomian bagi sebagian masyarakat desa. Selain guru yang ia datangkan dari kota, kumara juga ikut mengajar di sekolah itu.

Kekayaan dan pengaruh besarnya tidak membuat dia sombong atau membalaskan dendam terhadap masa lalunya, tapi malah membuat sifatnya tertata dengan bijak karena ia memegang perkataan Mahatma Gandhi "Bencilah Dosa itu bukan yang Berbuat Dosa.”

 

Tasikmalaya, 8 September 2019


0 Response to "Cerpen | Gumam Batin Pengelana - Syahrul Bachtiar"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel