MULTIMODALITAS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA oleh Yunus Abidin

MULTIMODALITAS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Yunus Abidin
Universitas Pendidikan Indonesia
yunusabidin@upi.edu

Abstrak
Dalam beberapa tahuan terakhir ini, pembelajaran bahasa telah memasuki masa baru. Hal ini ditandai dengan dikembangkannya fungsi pembelajaran bahasa yang selama ini hanya untuk  meningkatkan kemampuan berkomunikasi menjadi berfungsi untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan berkomunikasi. Sejalan dengan hal tersebut, pelaksanaan pembelajaran bahasa harus pula dilaksanakan dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat dan media pembelajaran yang sesuai. Guna mampu memainkan peran pentingnya dalam meningkatkan kompetensi berpikir dan berkomunikasi, media pembelajaran bahasa yang seyogianya digunakan adalah media pembelajaran bahasa yang bersifat multimodal. Multimodalitas dalam pembelajaran bahasa ditafsirkan sebagai penggunaan berbagai sumber yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa dan sekaligus meningkatkan kemampuan siswa berkomunikasi. Ciri multimodalitas yang utama adalah siswa terlibat secara aktif dalam menggunakan, menafsirkan, dan memproduksi pemahaman melalui beragama media pemahaman dan representasi.

kata kunci: media pembelajaran; multimodalitas; pembelajaran bahasa Indonesia

PENDAHULUAN
Sejalan dengan perkembangan paradigma dunia tentang makna pendidikan, pendidikan dihadapkan ada sejumlah tantangan yang semakin berat. Salah satu tantangan nyata tersebut adalah bahwa pendidikan hendaknya mampu menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang utuh. Berbeda dengan beberapa dekade yang lalu, kompetensi yang diharapkan dimiliki sumber daya manusia saat ini lebih dititikberatkan pada kompetensi berpikir dan berkomunikasi. Kompetensi berpikir artinya bahwa diharapkan sumber daya manusia memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan berpikir kreatif. Kompetensi berkomunikasi artinya bahwa sumber daya manusia hendaknya memiliki kemampuan berinteraksi dalam rangka bekerja sama dan menyampaikan ide-ide kritis kreatifnya. Hal lain yang perlu disadari adalah bahwa berpikir dan berkomunikasi yang harus dimiliki berada pada tataran keterampilan bukan hanya pada tataran pengetahuan belaka.
Berkenaan dengan kompetensi yang harus dikembangkan pada abad ke-21 secara lebih komprehensif Trilling and Fadel (2009: 21) menyatakan terdapat beberapa karakteristik penting kehidupan pada abad ke-21. Karakteristik penting tersebut menjadi kekuatan utama yang mendorong kita untuk menghasilkan cara baru dalam belajar pada abad ke-21 yang selanjutnya mendorong perlunya revitalisasi peran dan fungsi pembelajaran dan pendidikan dalam menghasilkan sumber daya manusia yang unggul. Karakteristik penting atau kekuatan baru yang muncul pada abad ke-21 tersebut dapat disajikan dalam gambar di bawah ini.

Gambar 1
Karakteristik Penting Pembelajaran Abad ke-21(Trilling & Fadel, 2009: 23)

Berdasarkan gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa pembelajaran dalam abad ke-21 dipengaruhi oleh empat kekuatan penting yang harus diperhatikan agar pembelajaran mampu memainkan peran penting dalam menghasilkan lulusan yang siap hidup dan berkehidupan pada abad ke-21. Keempat kekuatan penting tersebut selanjutnya melahirkan prinsip-prinsip pembelajaran, menyediakan alat-alat belajar, dan menciptakan lingkungan belajar yang harus dipersiapkan dunia pendidikan saat ini.
Kekuatan pertama adalah pengetahuan untuk bekerja. Kekuatan ini lahir sejalan dengan kenyataan bahwa abad ke-21 telah mengubah fakta sejarah dunia kerja yang semula hanya memerlukan para pekerja yang terampil secara fisik menjadi pekerja yang harus terampil dalam berpikir. Selain harus terampil berpikir, dunia kerja saat ini memerlukan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan literasi teknologi informasi dan mampu bekerja secara kolaboratif dan mampu menjalin komunikasi yang baik di lingkungan kerjanya. Kemampuan-kemampuan ini saat ini sangat diperlukan di dunia kerja untuk melahirkan produk dan layanan baru yang berfungsi untuk memecahkan masalah nyata dalam kehidupan dan memenuhi kebutuhan nyata para konsumen sebagai dua kekuatan utama pertumbuhan ekonomi. Kekuatan pertama ini pada akhirnya menjadi tekanan bagi sistem pendidikan untuk meningkatkan mutu layanan pembelajaran agar mampu melahirkan para pekerja pengetahuan dan para inovator bisnis.
Kekuatan kedua yang mendorong lahirnya arah baru pembelajaran dan pendidikan pada abad ke-21 adalah kemampuan berpikir. Sejalan dengan digunakannya berbagai peralatan teknologi dalam dunia kerja, kemampuan yang diperlukan para pekerja mulai bergeser dari kemampuan fisik menuju pengetahuan dalam mengoperasionalisasikan berbagai perangkat teknologi tersebut. Bertemali dengan hal ini, kemampuan berpikir menjadi kemampuan utama yang harus dimiliki para pekerja agar mampu bekerja secara efektif. Kenyataan ini menjadi tekanan kedua bagi sistem pendidikan untuk mengubah orientasi pembelajaran yang selama ini menekankan konsep memorisasi sebagai konsep utama keberhasilan pembelajaran menuju pengembangan kemampuan berpikir sebagai orientasi utama proses pembelajaran dan pendidikan. Penguasaan pengetahuan dan alat-alat berpikir diyakini harus dijadikan arah proses pendidikan karena keduanya dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan belajar, bekerja, dan menjadi insan kreatif yang sangat diperlukan di dunia kerja.
Gaya hidup digital merupakan kekuatan ketiga yang berpengaruh besar bagi proses pembelajaran pada abad ke-21. Disadari atau tidak penggunaan perangkat teknologi digital telah menjadi kebutuhan sehari-hari. Berbagai perangkat teknologi digital ini bahkan bukan hanya digunakan di dunia kerja tetapi lebih jauh pada seluruh sendi-sendi kehidupan. Telepon genggam, internet, komputer, internet, dan berbagai perangkat teknologi digital lainnya dijumpai dan digunakan oleh semua orang termasuk siswa di sekolah. Bertemali dengan kenyataan ini, pendidikan seyogianya tidak mengisolasi siswa dengan perkembangan teknologi digital ini melainkan sebaliknya memanfaatkan berbagai teknologi digital ini sebagai alat belajar dalam menciptakan pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, kreatif, inovatif, dan sekaligus menyenangkan bagi para siswa. Selain digunakan sebagai alat belajar, penggunaan berbagai teknologi digital di sekolah juga akan sangat bermanfaat bagi siswa karena penguasaan keterampilan digital ini akan menjadikan para siswa sebagai sumber daya manusia yang melek terhadap informasi dan teknologi informasi dan komunikasi dan menjadikan keterampilan ini sebagai alat bekerja kelak ketika mereka bekerja.
Kekuatan keempat yang menekan perlu berubahnya pola pembelajaran pada abad ke-21 adalah penelitian pembelajaran. Berbagai penelitian pembelajaran terbaru telah melahirkan sejumlah pemikiran, prinsip, dan arah baru penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan efisien. Beberapa penelitian terbaru tersebut di antaranya penelitian tentang pembelajaran autentik, model pengembangan metal, motivasi internal, multipelintelegensi, dan belajar sosial. Penelitian-penelitian ini telah melahirkan sejumlah asumsi penting tentang bagaimana melaksanakan proses pembelajaran yang mampu menghasilkan para lulusan yang mampu bekerja dan berkehidupan pada era teknologi ini. Bertemali dengan kondisi ini proses pembelajaran dan pendidikan pun harus berubah dari pola pembelajaran yang berpusat pada guru menuju keseimbangan pola pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru.
Berdasarkan keempat kekuatan besar di atas, sudah selayaknya para guru mulai melaksanakan pembelajaran berdasarkan pemikiran bahwa “Kita harus membelajarkan siswa agar siap untuk hidup pada zamannya dan bukan untuk hidup pada zaman kita”.  Pemikiran tentang belajar untuk hidup dan bekerja pada zamannya ini diyakini membantu siswa agar mampu belajar dan mengaplikasikan keterampilan abad ke-21 serta secara mumpuni memahami pengetahuan inti untuk menjawab tantangan zaman. Pemikiran ini pula yang seyogianya dijadikan dasar untuk melaksanakan seluruh pembelajaran sehingga pembelajaran yang dilaksanakan benar-benar visioner. Berdasarkan tantangan tersebut lahirlah istilah pendidikan multiliterasi.
Pada awalnya multiliterasi hanya dikenal dengan istilah literasi yakni alat yang dapat digunakan untuk beroleh dan mengomunikasikan informasi. Sejalan dengan perkembangan zaman, istilah ini terus berkembang menurut bidang bidang ilmu masing-masing. Dalam bahasa misalnya sering dikenal istilah  literasi membaca yakni kemampuan memahami, menggunakan dan merefleksi teks melalui pelibatan langsung untuk beroleh pengetahuan dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan untuk dapat berpartisipasi di dalam masyarakat. Dalam matematika, istilah ini berarti kapasitas individu untuk memformulasikan, membangun, dan menginterpretasikan matematika dalam beragam konteks. Dalam bidang sains, literasi berarti kemampuan memahami, berpikir, dan mengaplikasikan konsep dan perspektif  sains  dalam berbagai kejadian. Berdasarkan keragaman ini, istilah yang tepat digunakan untuk memadukan itulah literasi sebagai alat komunikasi  dan bidang ilmu yang dikomunikasikannya adalah istilah multiliterasi.
Bertemali dengan uraian-uraian di atas, Cope and Kalantzis (2005) menyatakan bahwa penggunaan istilah multiliterasi didasarkan atas dua argumen yang erat hubungannya dengan budaya, institusi pendidikan, dan tuntutan global. Alasan pertama istilah ini digunakan adalah bahwa dalam mengomunikasikan informasi dapat digunakan beragam media dan alasan kedua adalah bahwa istilah ini memiliki arti yang sangat penting dalam meningkatkan arti penting bahasa dan budaya bagi perkembangan kapabilitas seseorang. Dengan demikian, pendidikan multiliterasi memiliki memiliki beragam fokus penggunaan bahasa yang akan sangat bergantung pada bidang ilmu yang dibahas, konteks budaya yang memengaruhinya, serta efek sosial yang dihasilkannya.

















Gambar 2
Desain Dasar Multiliterasi dan Pembelajaran Multiliterasi (Abidin, 2015)

Berdasarkan sejumlah pemikiran tentang multiliterasi, gambar di atas penulis mencoba merangkum konsep multiliterasi dan implikasinya bagi pembelajaran multiliterasi. Berdasarkan gambar di atas dapat dikemukakan bahwa multiliterasi berkenaan dengan multikonteks, multimedia, dan multibudaya. Multiliterasi dikatakan multikonteks sebab keterampilan ini tidak hanya berkenaan dengan salah satu konteks melainkan beragam konteks baik konteks situasi maupun konteks keilmuan. Konteks situasi merupakan konteks di luar teks yang dapat digunakan untuk memahami isi teks. Konteks keilmuan berati bahwa teks yang dipelajari merupakan teks yang tidak hanya merujuk pada satu bidang keilmuan tertentu melainkan merujuk pada berbagai bidang ilmu. Dengan demikian, keterampilan multiliterasi bersifat lintas disiplin ilmu atau lintas kurikulum.
Multiliterasi juga berkenaan dengan multimedia. Hal ini berarti literasi dipelajari bukan hanya menggunakan salah satu jenis media melainkan menggunakan beragam media dari media yang sifatnya konvensional hingga media digital. Konsepsi ini sejalan dengan kenyataan bahwa informasi dapat disajikan bukan hanya menggunakan teks berbentuk kata-kata melainkan dapat disajikan secara visual, melalui performa, melalui musik, melalui drama, dan melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi serta media literasi lainnya. Berdasarkan pemikiran ini, media literasi dapat multibentuk, multikreasi, dan sekaligus multifungsi.
Selain berkenaan dengan multikonteks dan multimedia, multiliterasi juga berkenaan dengan multibudaya. Konsep ini sejalan dengan konsep literasi kritis yang memandang sebuah teks tidak bersifat tunabudaya. Sebuah teks yang disusun akan sangat dipengaruhi oleh disposisi penulisnya terhadap dimensi-dimensi budaya tertentu. Unsur lain yang biasanya sangat memengaruhi teks adalah latar belakang penulis tersebut, baik suku, agama, ras, latar belakang pendidikan, keyakinan, pandangan politik, dan konsep filsafat yang dianutnya. Berkenaan dengan kondisi ini, multiliterasi merupakan konsep nyata literasi kritis dan sekaligus menjadi perwujudan pedagogik kritis dalam bidang pendidikan.
Sejalan dengan konsep multiliterasi di atas, pembelajaran multiliterasi merupakan pembelajaran yang dikembangkan atas dasar komponen-komponen dasar multiliterasi. Pembelajaran multiliterasi merupakan pembelajaran yang dikembangkan atas dasar keberagaman kemampuan siswa baik dari sisi kecerdasan, gaya belajar, maupun modal belajarnya. Ditinjau dari sisi multiintelegensi, pembelajar multiliterasi merupakan pembelajaran yang memanfaatkan beragam kecerdasan yang dimiliki siswa. Dalam mempelajari konsep sains misalnya, guru dapat menggunakan kecerdasan spasial dan musikal pada siswa sehingga siswa yang memiliki kecerdasan tersebut dapat dengan mudah memahami konsep sains yang dipelajarinya tersebut.
Dalam merepresentasikan pemahamannya, siswa juga dapat menggunakan teks yang bersifat multimodal/ multimodus. Teks yang demikian merupakan teks yang tidak hanya dibatasi dengan kata-kata, namun lebih luas dapat berwujud gambar, visual, performa, musikal, ataupun teks digital berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Melalui pemanfaatan teks yang bersifat multimodal ini, siswa tidak hanya dituntut menyajikan pemahaman melalui bahasa tertulis melainkan bisa menggunakan literasi visual, literasi musikal, literasi performa, literasi teknologi, dan beragam literasi yang lainnya. Keberagaman cara merepresentasikan pemahaman ini diyakini mampu menjembatani siswa untuk lebih menguasai dan mengembangkan proses, konsep, dan sikap keilmuan yang dipelajarinya.
Sejalan dengan digunakannya teks multimodal dan dimanfaatkannya multiintelegensi yang dimiliki siswa, pembelajaran multiliterasi dilaksanakan dengan mempertimbangkan multigaya belajar siswa. Siswa tidak hanya sekadar menggunakan satu gaya belajar yang dimilikinya melainkan dapat menggunakan beragam gaya belajar. Di sisi lain, siswa yang hanya memiliki satu gaya belajar akan pula mampu belajar dengan baik sebab gaya belajar yang dimilikinya dapat digunakan secara optimal dalam mempelajari berbagai konsep, proses, sikap keilmuan. Dengan demikian, gaya belajar visual, spasial, kinestetik, auditor, bahkan imajinatif serta beragam gaya belajar lainnya dapat digunakan sebagai sarana utama keberhasilan pembelajaran multiliterasi.
Multimodalitas di abad 21 telah menyebabkan institusi pendidikan mempertimbangkan untuk mengubah bentuk pendidikan di dalam kelas. Pendidikan yang selama ini bergantung pada literasi cetak yang hanya mewakili satu mode komunikasi ditingkatkan menjadi literasi digital dan internet sebagai mode lain yang diperlukan. Mode ini mengharapkan pendidikan menggunakan teks visual hingga buku digital. Perubahan lain terjadi dengan mengintegrasikan musik dan video dengan rencana pelajaran di sekolah. Langkah-langkah tersebut dilihat sebagai upaya untuk menambah dan meningkatkan kemampuan literasi bagi komunitas pendidikan dengan memperkenalkan bentuk-bentuk baru, daripada menggantikan nilai-nilai keaksaraan. Miller dan McVee, (2012) menyatakan bahwa literasi baru ini tidak menyisihkan literatur tradisional. Siswa masih perlu tahu cara membaca dan menulis, tetapi literasi baru terintegrasi dengan mode mode yang lain.
Era digital memungkinkan seseorang menggunakan multimodalitas untuk menyampaikan pesan atau makna kepada orang lain. Di masa lalu, seseorang hanya bisa menggunakan satu atau dua mode saja. Misalnya, ketika menulis surat. Orang hanya bisa menggunakan mode bahasa tertulis atau maksimal bisa ditambah dengan gambar visual. Pesan yang ingin disampaikan diekspresikan dengan menggunakan tulisan atau gambar. Teknologi memungkinkan pengiriman pesan saat ini menggunakan berbagai macam. Pesan misalnya saat ini tidak hanya bisa disampaikan lewat tulisan dan gambar, tetapi juga bisa dilengkapi dengan emoticon, musik, film / video, dan berbagai mode lain. Lewat berbagai mode yang bermacam-macam tersebut, pesan bisa disampaikan lebih lengkap dan utuh. Untuk menyampaikan perasaan bahagia misalnya, orang bisa menambahkan musik atau video yang mendukung pesan. Di era digital, pesan multimodalitas hampir tiap saat dibuat. Teknologi yang melekat pada media sosial atau aplikasi mobile instant messaging memungkinkan berbagai pesan multimodalitas bisa dibuat.
Pilihan untuk mengintegrasikan formulir multimodal di dalam kelas tidak diterima tanpa masalah oleh semua orang di komunitas pendidikan. Dalam esai Bazemer (2012) dinyatakan bahwa komposisi multimodal terlihat di ruang kelas di seluruh negeri tetapi tampaknya ada kurangnya dukungan dari lembaga untuk memajukan apa yang guru bawa ke ruang kelas. Di sisi lain ide belajar telah berubah selama bertahun-tahun dan proses pembelajaran itu sendiri harus beradaptasi dengan kebutuhan pribadi dan afektif siswa. Pergeseran dari teks berbasis halaman cetak ke teks berbasis layar yang ditemukan di internet ini telah pula menyebabkan redefinisi literasi. Teks dan gambar yang selama ini ada secara terpisah, digital, atau cetak, dikombinasikan sehingga melahirkan bentuk-bentuk baru literasi dan cara-cara baru untuk berkomunikasi. Teks, apakah itu akademik, sosial, atau hiburan, dapat diakses dalam berbagai cara berbeda dan diedit oleh beberapa individu di internet. Kata yang diucapkan dan ditulis tidak usang, tetapi mereka bukan lagi satu-satunya cara untuk berkomunikasi dan menafsirkan pesan. Menggabungkan dan mengubah mode komunikasi ini satu sama lain telah berkontribusi pada evolusi literasi yang berbeda.
Sejalan dengan uraian di atas, tujuan utama multiliterasi adalah untuk melibatkan beragam perspektif siswa, memfasilitasi kelompok yang semakin diperluas dan multikultural. Fungsi lain dari multiliterasi adalah membantu perubahan desain konten dari tanggung jawab instruktur menjadi upaya yang lebih kooperatif antara guru dan siswa. Siswa dapat memiliki peran yang lebih proaktif dalam pembelajaran dan berada dalam posisi untuk secara sadar mengevaluasi bagaimana cara belajar mereka dapat mempengaruhi orang lain. Pemikiran ekstrinsik seperti itu memungkinkan evolusi konten dan konteks pelajaran memajukan gagasan pengajaran (dan pembelajaran) materi yang relevan yang kemudian di kenal dengan istilah multimodalitas.

HAKIKAT MULTIMODALITAS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
Multimodalitas bukanlah fenomena baru. Baldry dan Thibault (2006) mengamati bahwa kita hidup dalam masyarakat multimodal. Masyarakat era ini akan mengalami dunia secara multimodal dan pada gilirannya, membuat makna dari pengalaman mereka secara multimodal dengan menggunakan bahasa, gambar, gerak tubuh, tindakan, suara dan sumber daya lainnya. O'Halloran dkk. (2010:4) menjelaskan bahwa mereka percaya bahwa dalam praktiknya, teks dari semua jenis selalu multimodal, memanfaatkan, dan menggabungkan, sumber daya sistem semiotik yang beragam untuk memfasilitasi generik (yaitu standar) dan spesifik yaitu individual, dan bahkan inovatif, cara membuat makna. Teknologi, baik dalam menyediakan kemudahan relatif dalam produksi teks dan akses di mana-mana dalam konsumsi teks, juga menonjolkan sifat multimodal teks. O'Halloran dan LimFei (2011) berpendapat bahwa para pendidik memiliki tanggung jawab untuk memahami cara-cara multimodal, pengetahuan dipresentasikan dan mengajar siswa untuk menilai, dan menyesuaikan teks multimodal yang tidak dapat mereka temukan. Lebih lanjut, Unsworth (2002) dan Walsh (2006) membahas perubahan sifat dari keaksaraan dalam konteks komunikatif baru dan mengeksplorasi perbedaan pedagogi yang diperlukan untuk keaksaraan multimodal yang dikombinasikan dengan praktik keaksaraan tradisional.
Berasal dari konsep multiliterasi yang dikenalkan The New London Group (2005) literasi multimodal pertama kali diajukan oleh Jewitt dan Kress (2003) untuk mewakili pemahaman dan kompetensi dalam beragam mode cara makna dibuat. Jewitt dan Kress (2003) berpendapat bahwa informasi dan pengetahuan dibangun dalam teks multimodal. Literasi multimodal dalam pandangan Jewitt dan Kress (2003) fokus pada perancangan wacana dengan menyelidiki kontribusi semiotik tertentu (misalnya bahasa, isyarat, gambar) yang dikoordinasikan bersama di berbagai modalitas (misalnya visual, oral, somatis), serta interaksi dan integrasi mereka dalam membangun teks yang koheren. Dalam konteks ini, Kress (2003) mengusulkan pergeseran dari literasi keaksaraan ke literasi multimodal.
Literasi multimodal bertujuan untuk mengembangkan siswa menjadi pembaca dan produsen teks multimodal yang berpengetahuan luas dengan menarik perhatian pada berbagai sumber dalam membuat makna dalam teks. Begitu pula dengan cara-cara khusus yang dipilih dan bekerja untuk mencapai tujuan komunikatif yang diinginkan. Pendekatan multimodal memiliki aplikasi untuk studi bahasa dan bidang studi lainnya (misalnya ilmu sosial, matematika dan sains), mengingat bahwa beberapa mode representasi digunakan untuk membangun pengetahuan dalam setiap disiplin ilmu. Menurut Jewitt (2008), salah satu perhatian utama pendekatan literasi multimodal adalah promosi konsep literasi dan bentuk representasi dan komunikasi yang beragam untuk membantu siswa menegosiasikan jenis teks dan cara persuasi yang lebih luas. Kunci perspektif multimodal tentang keaksaraan adalah makna dibuat (didistribusikan, ditafsirkan, dan dibuat ulang) melalui banyak sumber daya representasional dan komunikasi yang bahasanya hanya satu (Kress & van Leeuwen dalam Jewitt, 2008). Dulu, setiap bidang studi cenderung berfokus pada satu mode makna dan belum banyak penekanan pada berbagai mode makna karena penggunaan teks cetak dalam rutinitas sehari-hari. Sebaliknya, globalisasi saat ini dan perkembangan teknologi yang pesat telah menjelaskan semua sarana makna di bawah teori multimodalitas (Kress, 2010).
Secara sederhana multimodalitas adalah teori komunikasi dan semiotika sosial. Multimodalitas  dapat dideskripsikan sebagai praktik komunikasi dengan menggunakan berbagai sumber daya baik tekstual, oral, linguistik, spasial, dan visual yang digunakan untuk menulis pesan. Dengan kata lain, multimodalitas adalah penggunaan beberapa mode (media) untuk membuat satu artifak. Kumpulan mode ini, atau elemen, berkontribusi pada bagaimana multimodalitas mempengaruhi situasi retoris yang berbeda sehingga memberikan peluang bagi pembaca untuk meningkatkan pemahaman atas sebuah ide atau konsep. Sejalan dengan hal ini, Kress & van Leeuwen, (1996) memandang multimodalitas merujuk kepada cara komunikasi di mana seseorang menggunakan beragam mode pada saat yang bersamaan. Mode-mode tersebut digabungkan untuk melengkapi dan memperkuat makna tertentu. Mode di sini bisa didefinisikan sebagai alat dan cara yang tersedia dan berterima dalam sebuah budaya, yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan. Ketika berkomunikasi, seseorang tidak hanya menggunakan satu mode misalnya bahasa verbal, tetapi juga mode-mode yang lain seperti bahasa nonverbal (gerak-gerik), bunyi, musik, ruang, spasi dan berbagai sumber-sumber semiotika yang lain untuk menekankan makna tertentu kepada orang lain.
Sejalan dengan pendapat di atas, multimodalitas berarti gabungan dari mode semiotik yang berbeda-beda misalnya bahasa dengan musik. Dalam pandangan Liu (2013) multimodalitas merupakan aturan dan prinsip analisis yang membantu pembaca memahami hal-hal seperti penempatan elemen-elemen dalam gambar, bingkai, salience, saturasi warna, serta tampilan gambar secara keseluruhan”. Lebih lanjut Bezemer (2012) mengatakan bahwa multimodalitas merupakan sebuah pendekatan interdisipliner yang memandang komunikasi dan juga representasi. Pendekatan multimodal menyediakan konsep, metode, dan kerangka untuk mengumpulkan dan menganalisis data visual, oral, dan aspek-aspek lain dalam interaksi
Multimodalitas berkaitan dengan semiotik. Dikatakan erat karena menurut Iedema (2003) multimodalitas dapat juga dikatakan sebagai “istilah teknis yang bertujuan menunjukkan bahwa pemaknaan yang kita lakukan selama ini memanfaatkan beragam semiotik”. Secara lebih tegas, Kress dan van Leeuwen (2006) mendefinisikan multimodality sebagai:
Language, whether in speech or writing, has always existed as just one mode in the totality of modes involved in the production of any text, spoken or written. A spoken text is not just verbal but also visual, combining with “non-verbal‟ modes of communication such as facial expression, gesture, posture and other forms of selfpresentation.

Dalam era teknologi 4.0, penggunan mode berbeda semakin banyak digunakan untuk menyampaikan pesan. Penyampaian pesan, bukan saja tindak tutur dari sang penutur kepada penerima, tapi juga usaha penawaran makna dari pembuat pemaknaan kepada audiens, termasuk di dalamnya konsumen seperti dalam iklan sebuah produk. Sementara mode menurut Bezemer dan Kress (2008) dipahami sebagai sumber yang terbentuk secara sosial dan budaya untuk mengomunikasikan makna. Sumber ini tidak terbatas pada bahasa saja sebagai sumber yang tidak asing dan biasa digunakan, tapi juga dapat dirujukkan pada gambar, bunyi, spasi/ruang yang dengannya orang menyampaikan pesan dan menawarkan makna. Di antara mode berbeda yang digunakan orang secara bersamaan dalam sebuah teks untuk mengomunikasikan pesan mereka, mungkin gabungan verbal dan atau gambar. Sehubungan dengan ini, Kress dan van Leeuwen (2002) bahkan berargumen bahwa warna adalah juga salah satu mode semiotik sebab makna sebuah warna bisa berbeda dalam konteks berbeda, dan dari warna-warna lainnya. Layout, termasuk di dalamnya blank space, ‘ruang kosong’ seperti pada koran adalah contoh lain mode semiotik (Kress and van Leeuwen, 2006).
Di Indonesia sendiri kajian multimodalitas telah banyak dilakukan. Pembelajaran dengan menggunakan Facebook dianggap salah atau pembelajaran multimodal. Teks fotografi di Facebook tidak hanya menampilkan gambar objek, tetapi juga model lain berupa bahasa tertulis (dalam bentuk komentar atas posting foto), komposisi, ruang, dan sebagainya. Contoh lain adalah penggunaan mobile instant messaging (MIM) yang saat ini banyak digunakan, bukan hanya untuk komunikasi interpersonal tetapi juga komunikasi organisasi. Media komunikasi dan aplikasi yang diteliti oleh penulis tersebut mempunyai sifat multimodalitas, sebab pengguna bisa memanfaatkan berbagai model yang disediakan oleh teknologi dalam menyampaikan pesan. Penggunaan teknologi yang mempunyai sifat multimodalitas mempengaruhi pola dan cara komunikasi dewasa ini.

PRAKSIS PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBANTUAN MEDIA MULTIMODAL
Multimodalitas di ruang kelas telah mengubah definisi literasi tradisional menjadi literasi baru. Menurut Kress (2003) literasi, ketika didefinisikan, biasanya mengacu pada kombinasi huruf dan kata-kata untuk membuat pesan dan makna dan sering dapat dilampirkan ke kata lain untuk mengekspresikan pengetahuan tentang bidang yang terpisah, seperti literasi visual atau komputer. Namun, karena multimodalitas menjadi lebih umum, tidak hanya di ruang kelas, tetapi di tempat kerja dan lingkungan sosial, definisi keaksaraan melampaui ruang kelas dan di luar teks-teks tradisional. Alih-alih hanya mengacu pada membaca dan menulis abjad, atau diperluas ke bidang lain, literasi dan definisinya sekarang mencakup beberapa mode. Literasi telah menjadi lebih dari sekedar membaca dan menulis, tetapi termasuk penggunaan visual, teknologi, dan sosial antara lain.
Siswa pada abad 21 memiliki lebih banyak pilihan untuk berkomunikasi secara digital, baik melalui SMS, blogging, atau melalui media sosial lainnya. Perubahan mode komunikasi yang dikendalikan komputer ini menuntut kelas menjadi multimodal agar dapat mengajarkan siswa keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan kerja abad 21. Vaish dan Towndrow (2010) lebih jauh menyatakan bahwa dalam praktiknya di dalam ruang kelas, multimodalitas lebih dari sekedar menggabungkan beberapa teknologi, tetapi menciptakan makna melalui integrasi beberapa mode. Siswa belajar melalui kombinasi dari mode ini, termasuk suara, gerak tubuh, ucapan, gambar dan teks. Misalnya, dalam pembelajaran menggunakan multimedia digital, gambar, video, dan musik serta teks dipadukan untuk membantu siswa memiliki pemahaman yang lebih baik tentang subjek yang diajarkan. Multimodalitas juga mensyaratkan bahwa guru harus bergerak melampaui pembelajaran hanya menggunakan teks menjadi pembelajaran dengan berbagai mode, karena kata yang tercetak hanyalah salah satu dari banyak mode yang harus dipelajari dan digunakan siswa.
Mengakui pentingnya bahasa dan visual dalam komunikasi dan pembuatan makna, Shipka (2005) mengadvokasi kerangka kerja berbasis multimodal yang dalam praktiknya para siswa didorong untuk menggunakan beragam mode baik teks cetak, media digital, pertunjukan video, foto-foto. Siswa diberikan kesempatan untuk mengirim, menerima, dan mengedarkan produk digital mereka. Dengan demikian, siswa dapat memahami bagaimana sistem pengiriman, penerimaan, dan sirkulasi pesan saling berkaitan dengan produk yang mereka hasilkan. Setiap kombinasi dari mode ini adalah wujud nyata media multimodal.
Pada prinsipnya, informasi yang disajikan melalui desain media digital, menawarkan prinsip komposisi multimodal. Melalui multimedia digital, kata dan gambar dapat disajikan sebagai gambar bergerak yang disertai ucapan untuk meningkatkan makna kata-kata itu sendiri. Multimodalitas cocok untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa dalam proses membangun sebuah tulisan melibatkan emosi, penyandian, dan distribusi tekstual. Cara berpikir baru tentang komposisi ini, memungkinkan gambar menjadi simbol "sensual dan emosional" dari apa yang mereka wakili, tidak terlalu berfokus pada hal yang "konseptual dan abstrak."
Melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan media multimodal tidaklah sulit. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pada dasarnya siswa telah hidup berdampingan dengan Facebook, blog, podcast, situs web, pesan ponsel dll. Teknologi ini telah mendesak siswa untuk belajar bagaimana menulis melalui pikiran retorik baru. Perubahan budaya ini menunjukkan bahwa ada perubahan dalam rasio alfabet ke ikon dalam tulisan elektronik. Salah satu contoh utamanya dapat dilihat pada penggunaan "emoji" sebagai ikon untuk menyampaikan kata-kata apa yang akan disampaikan
Salah satu aplikasi digital multimodalitas lainnya yang saat ini telah dikembangkan di bidang pendidikan adalah video game. Gee (2003) berpendapat bahwa ada banyak pengetahuan baik pengetahuan tentang belajar, sekolah, tempat kerja, keluarga, dan akademisi, dapat dikemas dan disajikan dalam video game. Bahkan berbagai penelitian telah membuktikan bahwa video game dapat digunakan untuk mengajar sains, matematika, dan ilmu lainnya di sekolah. Aplikasi multimodalitas lain yang dapat digunakan dalam pembelajaran di kelas adalah pembuatan film digital ‘digital storytelling’. Cerita digital didefinisikan sebagai film pendek yang menyertakan gambar digital, video dan audio untuk menciptakan narasi yang bermakna. Melalui praktik ini, siswa bertindak sebagai pembuat film, menggunakan bentuk representasi multimodal untuk merancang, membuat, dan berbagi kisah hidup mereka atau belajar bercerita dengan khalayak melalui platform online. Penggunaan gambar, warna, dan komposisi  juga merupakan bentuk lain pembelajaran berbasis multimodal (Jones dan Hafner (2012). Dengan kata lain, kunci utamanya pembelajaran dengan menggunakan media multimodal adalah bahwa dalam pembelajaran guru tidak hanya menggunakan teks, melainkan memadukannya dengan mode-mode lain sehingga menimbulkan pemahaman yang lebih tinggi bagi para siswa.

PENUTUP
Sejalan dengan bergesernya orientasi pendidikan pada abad ke-21, bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan keterampilan belajar abad ke-21. Menilik konsep multiliterasi yang ditawarkan berbagai ahli pendidikan dunia, bahasa merupakan pusat dan sarana untuk mengembangkan kompetensi belajar abad ke-21. Hal ini dapat dimaklumi sebab bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi melainkan juga memiliki fungsi-fungsi yang lain. Salah satu fungsi bahasa yang tidak kalah pentingnya adalah bahasa sebagai alat berpikir. Bahkan para ahli bersepakat bahwa berbahasa adalah berpikir dan berpikir adalah berbahasa. Menilik konsepsi ini bahasa menjadi alat utama manusia untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang dapat didik dan terdidik.
Dalam fungsinya sebagai alat berpikir, bahasa dikenal sebagai penghela ilmu pengetahuan. Dalam konsep ini, bahasa memiliki fungsi penting sebagai alat untuk melahirkan ilmu pengetahuan dan selanjutnya berfungsi pula sebagai pemandu dan penghela ilmu pengetahuan. Bahasalah yang memungkinkan munculnya ilmu pengetahuan dan sekaligus membawa ilmu pengetahuan tersebut. Kondisi ini muncul atas dasar kesadaran kita bahwa hanya bahasalah alat komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan (membawa) ilmu pengetahuan kepada manusia. Melalui bahasalah manusia akhirnya mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dengan demikian, tanpa bahasa ilmu pengetahuan tersebut tidak bisa disimpan apalagi diajarkan kepada generasi berikutnya.
Sejalan dengan fungsi penting tersebut, pembelajaran bahasa seyogianya sudah menggunakan media multimodal. Penggunaan media multimodal menghendaki guru untuk mengajarkan para siswa agar menggunakan berbagai mode komunikasi dalam memahami dan mengekspresikan pemahaman atas konsep yang dipelajari. Berdasarkan hal ini multimodalitas dalam pembelajaran bahasa adalah sebuah keniscayaan dalam abad digital ini. Selamat menggunakan media multimodal dan menerapkan pendekatan multimodalitas dalam pembelajaran. Sukses....

DAFTAR PUSTAKA
Abidin,Y. (2015). Pembelajaran Multiterasi: Sebuah Jawaban atas Tantangan Pendidikan Abad Ke-21 dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Refika Aditama.
Baldry, A. P., & Thibault, P. (2006). Multimodal Transcription and Text Analysis. United Kingdom: Equinox  Publishing Ltd.
Bezemer, J. (2012). What is multimodality. (dikutip dari http://mode.ioe.ac.uk/2012/02/16/what-is-multimodality/) [ 21 Oktober 2018]
Bezemer, J. dan Kress, G. (April 2008). "Writing in Multimodal Texts: A Social Semiotic Account of Designs for Learning". Written Communication. 25 (2): 166–195.
Cope, B. dan Kalantzis, M. (2005). Multiliteracies: Literacy Learning and the Design of Social Futures. New York: Routledge.
Gee, J.P. (2003). "What Video Games Have to Teach Us about Learning and Literacy". New Learning: Transformational Designs for Pedagogy and Assessment.
Iedema, R. (2003). “Multimodality, Resemiotization: Extending the Analysis of Discourse as Multisemiotic Practice”. Visual Comunication, 1-30.
Jewitt, C. (2008). “Multimodality and Literacy in School Classrooms” Review of Research in Education. 32(1), 241–267.
Jewitt, C., & Kress, G. (Eds.). (2003). Multimodal Literacy. New York: Peter Lang.
Jones, R. H. dan  Hafner, C. A. (2012). Understanding Digital Literacies. London & New York: Routledge.
Kress, G. & van Leeuwen, T. (1996). “Front Pages: (The Critical) Analysis of Newspaper Layaout”. In Bell, Allan. and Garret, Peter (Eds), Approaches to Media Discourse. Oxford: Blackwell.
Kress, G. & van Leeuwen, T. (2002). “Colour as A Semiotic Mode: Notes for A Grammar of Colour”. Visual Communication, 1-27.
Kress, G. (2003). "Going into a Different World".dalam Kress, G. (editor) Literacy in the New Media Age. New York: Routledge.
Kress, G. (2010). Multimodality: A Social Semiotic Approach to Contemporary Communication. New York: Routledge.
Kress, G.(2003). "Literacy and Multimodality: A Theoretical Framework". Literacy in the New Media Age. New York: Routledge.
Kress, G., & van Leeuwen, T. (2006). Reading Images: The Grammar of Visual Design (2nd ed.). London: Routledge.
Liu, J. (2013). “Visual Images Interpretive Strategies in Multimodal Texts”. Journal of Language Teaching and Reasearch, 4 (6), pp.1259-1263.
O‘Halloran, K. L., & Lim-Fei, V. (2011). “Dimensioner af Multimodal Literacy”. Viden om Laesning. 10, (September 2011). pp. 14–21.
O‘Halloran, K. L., dkk. (2010). “Challenges in Designing Digital Interfaces for the Study of Multimodal Phenomena”. Information Design Journal, 18(1), 2–12.
Shipka, J. (2005). "A Multimodal Task-Based Framework for Composing". College Composition and Communication. 57 (2) pp. 277–306.
The New London Group (2005). A Pedagogy Of Multiliteracies: Designing Social Futures. In B. Cope and M. Kalantzis (eds) Multiliteracies: Literacy Learning and the Design of Social Futures (pp. 9–38). South Yarra, VIC: Macmillan.
Trilling, B. & Fadel, C. (2009). 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.
Unsworth, L. (2002). “Changing Dimensions of School Literacies”. Australian Journal of Language and Literacy, 25(1), 62–79.
Vaish, V. dan Towndrow, P. (2010). "Multimodal Literacy in Language Classrooms". dalam Nancy Hornberger. Sociolinguistics and Language Education. Multilingual Matters. New York: Routledge.
Walsh, S. (2006). Investigating Classroom Discourse. London: Routledge.

0 Response to "MULTIMODALITAS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA oleh Yunus Abidin"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel