Cerpen | Petrichor - Rini Andriani


“PETRICHOR”

oleh : Rini Andriani

          Saat hujan pertama di bulan Oktober. Kita sama-sama menghirup aroma petrichor yang kau suka. Menari bersama hujan dan angin, sambil bercerita tentang nasib senja dan langit. Kau lebih suka puisiku tentang petrichor dan aku lebih suka puisiku tentangmu. Tapi, apa boleh buat. Kita tak bisa menghirup aroma petrichor yang sama ditanah ini lagi.

Aku memahami banyak hal tentang cinta. Tentang keteguhan. Tentang persahabatan. Tentang rindu. Tentang duka dan tentang kedamaian hati yang sesungguhnya. Pertanyaan yang sekian lama ku tanyakan, kutemukan jawabannya. Keputusasaan yang sekian lama menjadi racun dalam hatiku, kutemukan juga penawarnya. Berkatnya, aku hidup lebih pantas dan lebih seharusnya.

***

Aku tertunduk lesu di pojok kamar yang terasa sesak dengan teriakan dan cacian. Sambil ku tutup telingaku dengan bantal. Ingin rasanya aku berteriak pada mereka, tentang bagaimana perasaanku melihat sesuatu diambang kehancuran. Tapi, sepertinya mereka tidak berperasaan sampai ke titik itu. Jika orang tua lain menyembunyikan masalahnya dari anak-anak mereka, aku merasa mereka malah ingin mempertontonkannya. Aku Ingin pergi saja. Itu yang ada dipikiranku.

Pukul 17:00. Di Stasiun kereta api. Aku duduk disebuh kursi panjang sambil ku peluk tas besarku. Aku bingung, harus kemana aku pergi. Tak ada paman atau bibi yang bisa aku kunjungi selain di kota metropolitan ini. Aku ingin pergi jauh, keluar dari kota ini.

Setelah berjam-jam menunggu, barulah aku ingat sahabatku Fatimah di Yogyakarta. Fatimah adalah sahabatku di dunia maya. Aku mengenalnya di Facebook. Kami sudah lama saling mengenal, hampir 3 tahun . Ia banyak bercerita padaku tentang bagaimana kehidupannya sejak kecil. Aku pun sering bercerita tentang kehidupanku padanya. Karena mengingatnya, aku pun memutuskan untuk pergi menemuinya saja. Segera kuambil gawaiku untuk menghubunginya.

 “Assalamualaikum”.

Jawabnya. Betapa bahagianya aku saat itu.

“Waalaikumsalam Fatimah. Aku Ray. Bagimana kabarmu Fatimah?”

Tanyaku sambil meneteskan air mata. Entah kenapa, kesedihanku memuncak saat kudengar suaranya itu. Ingin rasanya ku ceritakan semua masalahku. Tapi jika aku ceritakan yang sebenarnya, tidak mungkin ia akan mengijinkanku pergi menemuinya.

“Allhamdulillah aku baik Ray, kamu baik?”

Tanya gadis itu, masih dengan suara dan logat jawanya yang khas. Aku berkata padanya bahwa aku sedang berada di stasiun, dan aku akan pergi mengunjunginya selama libur semester ini. Seketika kudengar suara bahagianya. Ia berjanji akan menjemputku di stasiun.

Setelah kuhubungi Fatimah, segera kupesan tiket untuk pergi ke kota itu.

“Mah.. Pah..! Aku akan kembali! akan ku jawab semua kegelisahan dan penyebab pertengkaran kalian nanti.” Gumamku dalam hati, sambil ku langkahkan kaki menuju gerbong kereta.

***

            Dari jendela itu. hamparan sawah dan pemandangan desa dan kota mulai kulihat. Sesekali kulihat juga danau-danau kecil dan kulihat bulan di dalamnya. Aku terpesona. Belum pernah aku melihat langsung lukisan tuhan yang maha indah ini. Biasanya, aku hanya melihatnya dipameran-pameran foto, lukisan di gedung-gedung atau dipinggiran jalanan Ibu kota.

Kurang lebih Pukul 05:00 pagi, aku sampai di Stasiun. Aku harap aku segera bertemu dengan Fatimah. Ia sudah berjanji akan menjemputku. Tapi dimana dia sekarang, aku tidak tau. Batrai gawaiku hampir habis, aku mulai bingung bagaimana caranya aku menghubungi Fatimah.

Lorong stasiun kujelajahi hingga ke ujungnya. Aku yakin di ujung lorong pintu keluar itu, Fatimah sedang menungguku.

“Sahabatku Raina Baisya Fahira.”

Aku tersenyum membaca tulisan itu. Seorang gadis berpakain merah marun dan berjilbab lebar itu nenatapku dengan senyuman manis, ia berdiri di depanku dengan kertas besar bertuliskan namaku. Itu Fatimah sahabatku. Aku memeluknya.

Kuceritakan semua masalahku padanya. Tentang Ayah dan Ibu yang setiap hari bertengkar memperdebatkan kemana aku harus melanjutkan sekolah. Tentang Ayah dan Ibu yang menghawatirkan aku karena nilaiku yang paling buruk di sekolah. Aku benar-benar tak bisa membuat mereka terus seperti itu. Kubilang padanya bahwa aku tidak bisa kembali kerumah untuk saat ini. Aku berusaha meyakinkannya sebisaku, dan akhirnya dia setuju jika aku tinggal dirumahnya untuk sementara waktu. Tapi, ia memberiku banyak syarat untuk ini, dan aku tidak bisa menolaknya.

Aku dan Fatimah berjalan menuju parkiran mobil di stasiun. Sesampainya di mobil, aku disambut oleh dua orang yang begitu bersahaja. Sepanjang perjalanan percakapan mereka begitu menyenangkan. Seperti tidak ada sekat antara Ayah, Ibu dan anaknya. Meskipun lelaki  berjenggot yang  berumur sekitar 50 tahun itu Ayah tiri Fatimah, tetapi aku tidak melihat perbedaanya. Hatiku semakin sakit. Seandainya Mamah dan Papah seperti mereka, aku mungkin tidak akan ada disini.

Akhirnya kami sampai. “Ini rupanya tempat yang disebut Pesantren itu”. gumamku.

Suasana asri perkampungan masih terasa disana.  Pemandangan hutan-hutan kecil dan pesawahan yang masih membentang terasa menyenangkan. Aku seperti berada disebuah dunia baru yang tidak asing tapi tidak pernah kujelajahi sebelumnya. Saat memasuki area pesantren, beberapa bangunan bertingkat mulai kulihat. Orang-orang berjubah putih berlalu-lalang disana. Dibagian lain, beberapa wanita bercadar dan berjilbab seperti Fatimah pun berlalu lalang dengan tugasnya. Aku menatap aneh pada kerumunan orang-orang itu, sementara Fatimah mulai menyadari apa yang ada dalam pikiranku.

 “Itu adalah kawasan untuk santri putra, dan sebelah sana adalah kawasan untuk santri putri. Kita tidak diperbolehkan bertemu dengan kaum lelaki kecuali ketika ada keperluan mendesak.” Ucap Fatimah.

 “Nak Ray tidak usah kawatir, nak Ray boleh tinggal dirumah ini. Tapi umi berharap nak Ray mau ikut belajar di pondok pesantren ini.” ujar umi kepadaku. Ya, itu syarat yang Fatimah ajukan padaku di Stasiun tadi.

***

            Hari terus berlalu. Sudah satu tahun berlalu. Disini  aku tidak hidup sebagai diriku, tapi hidup sebagaimana mestinya. Menjalankan setiap hal yang bahkan tidak ku tau sebelumnya, melakukan banyak hal yang bahkan tidak kupikirkan sebelumnya. Fatimah setiap hari membimbingku, mengajarkan banyak hal padaku. Aku mulai terbiasa, mengikuti setiap aturan dan keharusan sebagai santri disana. Berkenalan dan berbagi kisah dengan santri-santri putri yang ternyata berasal dari berbagai daerah, juga menjalankan semua tradisi yang ada di sana. Aku menemukan diriku yang seharusnya. Kini, aku adalah seorang hafiz 10 Juz Al-Quran. Aku benar-benar tak percaya itu.

            Setiap bulan aku selalu mengirim pesan untuk Mamah dan Papah. Aku selalu bilang aku pasti pulang, tunggu aku membawa kebanggan bagi mereka di waktu yang lebih tepat.

“Mah, Pah. .. berbarengan dengan munculnya aroma petrichor, temanku telah meninggalkanku untuk slamanya.” Isi suratku kali ini.

0 Response to "Cerpen | Petrichor - Rini Andriani"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel