ANALISIS GAYA BAHASA PADA NOVEL “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” KARYA HAMKA


ANALISIS GAYA BAHASA PADA NOVEL “DI BAWAH
LINDUNGAN KA’BAH” KARYA HAMKA  

Anisa Muslimah


 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Siliwangi 
anisamuslimah8@gmail.com



Abstrak 


Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memaparkan gaya bahasa yang paling banyak digunakan
dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka, (2) memaparkan majas apa sajakah
yang dihadirkan pengarang dalam novel tersebut dan (3) memaparkan pengaruh penggunaan
gaya bahasa pada novel tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dengan teknik kajian pustaka yang menggunakan teknik analisis data berupa analisis
kualitatif. Berdasarkan hasil analisis, gaya bahasa yang paling banyak digunakan dalam novel
“Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka ini adalah kelompok gaya bahasa perbandingan.
Gaya bahasa perbandingan yang dimunculkan yaitu perumpamaan, kiasan, penginsanan
(personifikasi), alegori dan antitesis. Sedangkan gaya bahasa yang muncul dari kelompok
pertentangan yaitu hiperbola dan litotes dan dari kelompok pertautan yaitu gradasi, elipsis, dan
inversi. Adanya penggunaan gaya bahasa dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya
Hamka ini memberikan pengaruh baik rasa maupun estetika yang dapat dinikmati oleh
pembaca. 

Kata Kunci: Gaya bahasa, novel. 


Abstract  


This study aims to: (1) describes the style that is most widely used in the novel "Di Bawah
Lindungan Ka’bah" Hamka’s work, (2) explain what are the figure of speech which presented
the novel's author (3) describes the effect of the use of language styles in the novel. The method
used in this research is descriptive qualitative literature review technique that uses data
analysis techniques in the form of qualitative analysis. Based on the analysis, the style of the
most widely used language in the novel "Di Bawah Lindungan Ka’bah" Hamka’s work is
stylistic comparison group. Stylistic comparison that is raised is a metaphor, simile,
penginsanan (personification), allegory and antithesis. While the style that emerged from
opposition groups that is hyperbole and litotes and of the linkage group that is gradation,
ellipsis, and inversion. Their use of language style in the novel "Di Bawah Lindungan Ka’bah"
Hamka’s work gives good taste and aesthetic effect that can be enjoyed by readers. 

Keywords: Style, novel. 




PENDAHULUAN  
 Satu hal yang tidak bisa lepas dari karya sastra adalah fungsinya untuk mengibur
yang memanfaatkan media bahasa sebagai unsur utama dalam menyampaikan gagasan
dari karya sastra tersebut. Salah satu karya sastra yang saat ini cukup banyak menjadi
konsumsi berbagai lapisan masyarakat adalah karya sastra dalam bentuk prosa fiksi
seperti novel. Pasalnya, melalui novel pembaca diajak untuk turut mengimajinasikan
seluruh unsur pembangun dalam novel tersebut sehingga pembaca larut dalam cerita
yang dibaca dan dapat memaknai kegiatan membaca yang dilakukannya sebagai
kegiatan membaca yang menyenangkan.
 Banyak pendapat yang disampaikan para ahli dalam mendefinisikan novel, salah
satunya adalah pendapat Zaidan, dkk. dalam  Kamus Istilah Sastra yang mendefinisikan
novel sebagai jenis prosa  yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang
menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang, dan
mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar
konvensi penulisan (1994).
 Lebih sederhana, Nurgiyantoro dalam Purba (2010:62) mengartikan novel
sebagai karya fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu
pendek.
 Novel seringkali sulit dibedakan dari karya prosa fiksi lain seperti novelet dan
cerpen jika dilihat dari unsur-unsur pembangunnya baik intrinsik maupun ekstrinsik.
Hal yang dapat dilihat guna membedakan ketiga jenis prosa fiksi ini adalah dari segi
panjang dan keluasan cakupannya. Novel yang biasanya lebih panjang dari cerpen dan
novelet memungkinkan pengarangnya untuk menyajikan unsur-unsur pembangun novel
secara lebih bebas dan detil. Permasalahan yang diangkatnya pun lebih kompleks.
Dengan demikian, novel dapat didefinisikan sebagai cerita yang berbentuk prosa yang
menyajikan permasalahan-permasalahan secara kompleks, dengan penggarapan unsurunsurnya
secara luas dan rinci (Riswandi dan Kusmini, 2017).



Kompleksitas dalam sebuah novel tidak lepas dari dari pengembangan unsurunsur
pembangunnya secara luas dan rinci hingga terbentuk novel dengan isi cerita yang siap menjadi konsumsi publik.

Novel dibangun dari unsur ekstrinsik dan intrinsik. Unsur ekstrinsik meliputi
biografi pengarang, situasi dan kondisi sosial, sejarah, dan sebagainya yang berda di
luar teks namun secara tidak langsung memmpengaruhi penciptaan karya itu. Bertolak
belakang dari unsur ekstrinsik, unsur intrinsik dimaksudkan sebagai unsur-unsur yang
hadir dalam teks dan secara langsung membangun teks tersebut. Unsur intrinsik novel
terdiri dari tokoh, penokohan, alur, latar, gaya bahasa (majas), sudut pandang dan tema
(Riswandi dan Kusmini, 2017).
 Gaya bahasa atau dikenal sebagai style dalam retorika diartikan sebagai
kemampuan dan keahlian mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 2010:112).
 Lebih lanjut, majas atau gaya bahasa diartikan sebagai bahasa indah yang
digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta
membandingkan suatu benda atau hal tertentu teretentu dapat benda atau hal lain yang
lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta
menimbukan konotasi tertentu (Dale, et al, 1971:220 dalam Ganie, 2015:193). Pendapat
ini memperkuat pernyataan Wellek dan Warren (1989:15) yang menyatakan
dibandingkan dengan bahasa ilmiah, dalam beberapa hal bahasa sastra nampak
mempunyai kekurangan. Bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonim, serta memiliki
kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional. Bahasa sastra juga dipenuhi 




asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumya. Denga kata
lain, bahasa sastra sabgat konotatif sifatnya. Bahasa sastra memiliki fungsi ekspresif,
Oleh karena itu pembaca dapat mengenal bagimana sikap, endapan pengetahuan,
pengalaman dan gagasan pengarang karya resebut (Aminuddin, 2010:77).
 Tarigan dalam Suhardi (2015:150) mengelompokkan majas (gaya bahasa) atas 4
kelompok, yaitu (1) Majas perbandingan, (2) Majas pertentangan, (3) Majas pertautan
dan (4) Majas perulangan. 
1. Majas Perbandingan
Menurut Tarigan dalam Suhardi (2015:150) majas perbandingan ini terdiri dari 5 
gaya bahasa sebagai berikut:
a. Perumpamaan adalah majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda 

lain yang dianggap memiliki kesamaan sifat. Adapun ciri majas perumpamaan ini
adalah sering menggunakan kata-kata seperti ibarat, laksana, umpama, bak, dan
bagai (Suhardi, 2015:151). 
b. Kiasan (Metafora) adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara
langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2010:139). 
c. Penginsanan (Personifikasi) adalah semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barag-barang yang tidak bernyawa seolaholah
memiliki

sifat kemanusiaan. Personifikasi merupakan suatu corak khusus dari
metafora, yang mengiaskan benda-benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara
seperti manusia (Keraf, 2010:140). 
d. Sindiran (Alegori) adalah majas yang berbentuk cerita, yaitu menceritakan sesuatu
dalam bentuk lambang-lambang. Alegori merupakan metafora yang diperluas dan
berkesinambungan (Suhardi, 2015:152). 
e. Antitesis adalah majas yang bersifat komparasi dua hal yang berlawanan (Suhardi,
2015:153) 
2. Majas Pertentangan
Menurut Tarigan dalam Suhardi (2015:150) majas pertentangan ini terdiri dari 7 
gaya bahasa sebagai berikut:
a. Hiperbola adalah majas yang bersifat melebih-lebihkan sesuatu sehingga tidak 
sesuai lagi dengan realitasnya (Suhardi, 2015:153).
b. Litotes adalah majas yang bersifat mengurang-ngurangi dari yang sebenarnya 
(Suhardi, 2015:153).
c. Ironi adalah sindiran halus yang menyaakan sesuatu dan memiliki makna 
kebalikannya (Suhardi, 2015:153).
d. Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata 
untuk mencapai efek yang bertentangan (Keraf, 2010:136).
e. Paronomasia adalah majas yang dibentuk dari deretan kata-kata yang sama 
bunyinya, tapi memiliki makna yang berbeda (Suhardi, 2015:154).
f. Paralipsis adalah majas formula yang dipergunakan sebagai sarana untuk 
menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu
sendiri (Tarigan dalam Suhardi, 2015:154-155). 
g. Zeugma adalah majas yang merupakan bentuk koordinasi dua kata yang memiliki
ciri-ciri semntis bertentangan (Suhardi, 2015:155). 
3. Majas Pertautan
Menurut Tarigan dalam Suhardi (2015:150) majas pertautan ini terdiri dari 7 
gaya bahasa sebagai berikut: 

a. Metonimia adalah gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan suatu hal lain, karena memiliki pertalian yang sangat dekat (Keraf,
2010:142). 
b. Sinekdoke adalah majas yang menyebutkan sebagian saja pada hal yang dimaksud
keseluruhannya (Suhardi, 2015:156). 
c. Alusi adalah majas yang merujuk secara tidak langsung suatu peristiwa atau tokoh
berdasarkan praanggapan atau pengetahuan bersama yang dimiliki pengarang dan
pembaca serta adanya kemampua pada pembaca untuk menangkap acuan tersebut
(Suhardi, 2015:156). 
d. Eufimisme adalah majas yang menghaluskan dari sebuah ungkapan yang dirasakan
masih kasar (Suhardi, 2015:157). 
e. Elipsis adalah majas yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang
dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca, sehingga struktir
gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku (Keraf, 2010:132). 
f. Inversi adalah majas yang disusun dengan cara mengubah struktur kalimat. Sering
disebut juga majas yang susunan S dan P-nya tidak berurutan (Suhardi, 2015:157). 
g. Gradasi adalah majas yang mengandung rangkaian kata atau pengulangan kata
beberapa kali (Suhardi, 2015:158). 
4. Majas Perulangan
Menurut Tarigan dalam Suhardi (2015:150) majas perulangan ini terdiri dari 4 
gaya bahasa sebagai berikut:
a. Aliterasi adalah majas yang memanfaatkan kata-kata yang memiliki bunyi awalan 
yang sama (Suhardi, 2015:158).
b. Antanaklasis adalah majas yang mengulang kata-kata yang sama tetapi 
menimbulkan makna yang berbeda (Suhardi, 2015:159).
c. Kiasmus adalah majas dengan cara mengulang kata atau inversi hubungan dua frasa 


atau klausa dalam satu kalimat (Tarigan dalam Suhardi, 2015:159) dan (Keraf,
2010:132). 
d. Repetisi adalah proses pengulangan kata  atau kelompok kata yang sama.
 Sebagai salah satu unsur pembangun yang secara langsung memberikan
pengaruh terhadap karya yang diciptakan, penulis tertarik untuk mengkaji gaya bahasa
dari kelompok manakah yang paling banyak digunakan dalam dalam novel “Di Bawah
Lindungan Ka’bah”?, majas apa sajakah yang digunakan dalam novel tersebut? dan
bagaimana pengaruh penggunaan majas (gaya bahasa) dalam karya tersebut?.  
Penelitian ini dilakukan guna memaparkan gaya bahasa dari kelompok manakah
yang paling banyak dimunculkan Hamka dalam novelnya yang berjudul “Di Bawah
Lindungan Ka’bah”. Selanjutnya untuk memaparkan gaya bahasa apa sajakah yang
muncul dalam novel tersebut dan bagaimana pengaruh penggunaan gaya bahasa dalam
karya tersebut. 
Beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang akan
dilakukan penulis diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Riana Dwi Lestari dan
Eli Syarifah Aeni dengan judul Penggunaan “Gaya Bahasa Perbandingan pada
Kumpulan Cerpen Mahasiswa.” 

METODE PENELITIAN  

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni
dengan mengembangkan pola pikir yang bersifat induktif. Metode ini menjawab
permasalahan berdasarkan fakta-fakta yang dari data yang diperoleh. Data yang 


dikumpulkan kemudian dianalisis melalui reduksi data, kemudian display data, dan
diakhiri dengan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Menurut Heryadi (2014:42),
“Metode deskriptif adalah metode penelitian yang digunakan untuk menggambarkan
suatu objek yang ada dan terjadi saat itu dalam rangka menjawab suatu permasalahan
penelitian”.  Penulis menggunakan metode deskriptif yang bersifat memaparkan dan
menganalisis data dalam penelitian ini. Data yang diperoleh bersumber dari hasil
analisis penggunaan gaya bahasa pada novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya
Hamka. 
Pengumpulan data yang penulis lakukan diawali dengan membaca novel karya
Hamka yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” sebagai objek utama dari
penelitian yang akan dilakukan. Kemudian penulis melakukan analisis dengan
mengidentifikasi, mengklasifikasikan dan mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa
yang dimuculkan pengarang dala novel tersebut.  
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik kajian pustaka. Teknik kajian
pustaka ini biasanya digunakan untuk menelaah buku dan memperoleh informasi
mengenai materi serta teori-teori yang relevan dan berhubugan erat dengan masalah
yang sedang diteliti.  
Teknik analisis data yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah analisis
kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan bentuk analisis yang tidak menggunakan
matematik, statistik maupun bentuk-bentuk serupa lainnya. Analisis data yang
dilakukan terbatas pada teknik pengolahan data, kemudian penulis melakukan
penguraian dan penefsiran terhadap data-data yang diperoleh. Analisis data dilakukan
dengan mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari serta
membuat kesimpulan.  
Beberapa langkah yang dilalui dalam proses analisis data pada penelitian ini
yaitu: (1) Membaca dan mengamati novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya
Hamka, (2) Menganalisis penggunaan gaya bahasa dalam novel tersebut, (3) Menarik
kesimpulan berdasarkan fakta dari hasil analisis yang dilakukan. 
  
HASIL DAN PEMBAHASAN 


Tabel 1 Analisis Gaya Bahasa  
No
Jenis Majas Jumlah
1. Perbandingan Perumpamaan 15 
Kiasan  15
Penginsanan (Personifikasi) 1
Sindiran (Alegori) 6
Antitesis 5 
2. Pertentangan Hiperbola 5
Litotes 2
Ironi -
Oksimoron -
Paronomasia -
Paralipsis -
Zeugma - 
3. Pertautan Metonimia  - 



  Sinekdoke -
Alusi -
Eufimisme -
Elipsis 1
Inversi 1
Gradasi 1 
4. Perulangan Aliterasi -
Antanaklasis -
Kiasmus -
Repetisi - 

Hasil analisis gaya bahasa dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya 
Hamka adalah sebagai berikut:
A. Perbandingan 
1. Perumpamaan 
“Saya hidup laksana seorang buangan yang tersisih pada suatu padang belantara
yang jauh, laksana seorang bersalah besar yang dibuang ke pulau, tiada manusia yang
datang menengok, tidak ada kawan yang melihat, ditimpa haus dan dahaga.”  
Pada penggalan kalimat dalam novel mengibaratkan tokoh seperti seorang yang
diasingkan atau diisolasi ke sebuah hutan belantara yang jauh, seperti terdakwa dengan
kesalahan yang besar dan tidak dapat diamaafkan lagi sehingga dibuang ke sebuah
pulau terpencil yang tidak berpenghuni dan dibiarkan kehausan dan kelaparan. 
2. Kiasan 
“Tiap-tiap perkataan terhadap kepada tanah air, pembicaraan diputarnya kepada 
yang lain.”
Pada penggalan novel tersebut pengarang mengiaskan negara Indonesia sebagai 
tanah air. Pasalnya, negara Indonesia adalah negara yang sebagian besar wilayahnya
berupakan daerah perairan yaitu sebesar 70% dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. 
3. Penginsanan (Personifikasi)
“Mendengar perkataan itu, terlompatlah air mata ibuku karena suka cita…” 
Pengarang mendeskrripsikan perasaan haru yang dialami tokoh melalui tindakan
tokoh yang menitikan air mata. Pada kalimat ini air mata digambarkan seolah-olah
mampu melakukan kegiatan melompat dari mata tokoh layaknya manusia. 
4. Alegori 
“Maka di antara awan yang gelap gulita dan angin badai yang berhembus 
semenjak pertengahan malam, tiba-tiba fajar naiklah. Itulah fajar kenang-kenangan dan
pengharapan dari pada cinta dan rindu dendam.” 
Terdapat kesinambungan dari metafora yang mengalami perluasan yang
disampaikan pengarang bahwa setelah seluruh kenestapaan dan kesusahan yang
dilewati, datanglah suatu harapan bagi perasaan yang selama ini dipendam. 
5. Antitesis 
”Tetapi rupanya di mana jua pun di atas dunia ini, asal ditempati oleh manusia, 
kita akan bertemu dengan yang tinggi dan yang rendah.”
 Terdapat gagasan yang bertentangan dalam pengalan novel yang sangan kontras 
dan bertentangan secara semantis yaitu antara kata tinggi dan rendah yang digunakan
pengarang untung menerangkan derajat sosial tokoh dalam cerita. 
B. Pertentangan
1. Hiperbola  


“Surat tanda cinta dari seorang perempuan, perempuan yang mula-mula dikenal
dalam seorang muda, adalah lebih berharga dari pada senyuman seorang penghulu
kepada budaknya, lebih mulia dari pada sebntuk cincin yang dianugerahkan raja kepada
pelayannya. Satu hati lebih mahal, dari pada senyuman, satu jiwa lebih berharga dari
pada sebentuk cincin.” 
Ada bentuk melebih-lebihkan yang dimunculkan pengarang dalam menjelaskan
keberhargaan sesuatu yang seolah-olah lebih berharga dari pada sesuatu hal yang lain. 
2. Litotes 
“Rumah tempat kami tinggal hanya sebuah rumah kecil yang telah tua, yang 
lebih pantas kalau disebut gubuk atau dangau.”
Berbanding terbalik dengan gaya bahasa hiperbola, dalam gaya bahasa litotes ini 
tokoh dalam novel merendah-rendahkan tempat tinggalnya yang tidak begitu bagus
sehingga menganggap bahwa rumah tersebut lebih layak disebut gubuk dari pada
sebuah rumah. 
C. Pertautan
1. Elipsis  
“…masa gembira masa menghadapi zaman yang akan datang dengan penuh
kepercayaan…” 
Terdapat satu fungsi yang hilang dalam struktur kalimat dari penggalan novel,
yaitu pengarang menghilangkan fungsi verba “adalah” dalam kalimat tersebut, namun
pembaca masih dapat menangkap maksud atau gagasan yang ingin disampaikan
pengarang. 
2. Inversi 
”Gugup saya hendak menjawab; saya pintar mengarang khayal dan angan-
angan, tetapi bila sampai dihadapannya saya menjadi seorang yang bodoh.”
Susunan fungsi sintaksis dalam kalimat yang terdapat dalam penggalan novel ini 
membalik posisi subjek dan predikat sehingga menjadi sebuah kalimat inversi dengan
meletakkan predikat pada awal kalimat yang kemudian diikuti subjek setelahnya. 
3. Gradasi
“Senantiasa saya hitung pertukaran hari ke bulan dan dari bulan ke tahun…” 
 Pengarang menghadirkan pengulangan kata beberapa kali yaitu pengulangan
kata “bulan” sebanyak 2 kali yang menunjukkan gradasi waktu dari bulan ke tahun.
 Gaya bahasa sebagai salah satu unsur pembangun dalam suatu karya sastra
dalam hal ini novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah, memberikan pengaruh secara
langsung terhadap pembaca. Dengan adanya penggunaan gaya bahasa tertentu dalam
novel ini memberikan nilai rasa tertentu pada bagian-bagian yang ditulis menggunakan
gaya bahasa tertentu yang dipilih pengarang seperti penggunaan kata-kata kiasan dan
perumpamaan untuk menyampaikan gagasan atau maksud pengarang kepada pembaca
sehingga lebih enak untuk dibaca yang sekaligus menambah nilai estetika dari novel
tersebut.

SIMPULAN  
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dalam novel “Di Bawah
Lindungan Ka’bah” karya Hamka ini dapat ditemukan gaya bahasa dari beberapa
kelompok yaitu gaya bahasa dari kelompok perbandingan, pertentangan dan pertautan.
Dari gaya bahasa perbandingan terdapat 15 perumpamaan, 15 kiasan, 1 penginsanan
(personifikasi), 6 alegori dan 5 antitesis. Dari gaya bahasa pertentangan terdapat 5
hiperbola dan 2 litotes. Dari gaya bahasa pertautan terdapat 1 elipsis, 1 inversi dan 1 


gradasi. Gaya bahasa yang paling banyak dimunculkan pengarang dalam novel ini
adalah gaya bahasa perbandingan. Penggunaan gaya bahasa dalam novel ini
memberikan pengaruh secara langsung bagi pembaca baik dari segi rasa maupun
estetika. 



DAFTAR PUSTAKA 
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Aglesindo.
Ganie, Tajuddin Noor. 2015. Buku Induk Bahasa Indonesia Pantun, Puisi, Syair, 
Peribahasa, Gurindam dan Majas. Yogyakarta: Araska.
Hamka. 1990. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Heryadi. 2014. Metode Pendidikan Bahasa. Bandung: Pustaka Billah.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 
Lestari, Riana Dwi dan Eli Syarifah Aeni. 2018. Penggunaan Gaya Bahasa 
Perbandingan pada Kumpulan Cerpen Mahasiswa. Semantik. Vol. 7 (1).
Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. 
Riswandi, Bode dan Titin Kusmini. 2010. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: 
Graha Ilmu.
Suhardi. 2015. Dasar-dasar Ilmu Semantik. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusstraan. Jakarta: PT. Gramedia.
Zaidan, dkk. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka  

0 Response to "ANALISIS GAYA BAHASA PADA NOVEL “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” KARYA HAMKA "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel